Senin, 09 Mei 2011

Langkah-langkah penelitian ilmiah dalam perspektif Ilmu Pengetahuan Alam.

a. Menentukan masalah.
Langkah yang pertama ini merupakan langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian. Sebelum mengadakan penelitian harus menentukan masalah yang akan diteliti. Masalah tersebut harus diketahui dan merupakan masalah yang pasti ada atau benar-benar terjadi.
b. Kerangka berfikir.
Setelah menentukan masalah yang akan diteliti, kita memanfaatkan pengalaman-pengalaman kita dan buku-buku yang berhubungan dengan hal tersebut untuk menyatakan bahwa masalah itu benar-benar ada. Pengalaman dan buku-buku yang berhubungan dengan masalah juga membantu untuk mengetahui tentang keadaan masalah.
c. Merumuskan masalah.
Masalah disini adalah suatu pernyataan apa, mengapa, dan bagaimana tentang suatu yang akan diteliti. Lalu disusun rumusan yang tepat dengan masalah tersebut. Langkah ini memberi bantuan untuk menemukan data, yakni fakta-fakta yang cocok dengan masalah itu.


d. Penyusunan hipotesis.
Hipotesis merupakan jawaban sementara tentang pertanyaan yang telah ditentukan dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut belum bisa dikatakan benar dan juga belum bisa dikatakan salah, karena jawaban ini hanyalah bersifat sementara dan belum dilakukan penelitian yang berlanjut. Tetapi hipotesis merupakan dugaan sementara yang tentu saja didukung oleh pengetahuan serta pengalaman-pengalaman yang ada.
e. Pengumpulan data.
Pada langkah ini apa saja yang relevan dengan hipotesis dikumpulkan, untuk menunjukkan apakah ada fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Data-data bisa diperoleh dari pengalaman dan eksperimen. Observasi biasanya tidak begitu sempurna, jika tidak dilakukan eksperimen, karena pengalaman sangat terbatas. Fakta-fakta atau data-data bisa langsung dilihat oleh mata atau melalui teleskop. Kemudian semua data tersebut dikumpulkan.
f. Analisa.
Analisa merupakan pencarian pola hubungan antar variabel, atau data antar data yang memiliki nilai tidak tetap (berubah-ubah).
g. Penarikan kesimpulan.
Kesimpulan tidak dapat langsung ditentukan tanpa melalui dari data-data atau fakta-fakta untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan tersebut diterima atau tidak. Hipotesis bisa diterima, jika fakta-fakta yang telah terkumpul mendukung hipotesis. Bila fakta-fakta tersebut belum mendukung hipotesis, maka hipotesis belum bisa diterima. Kesimpulan merupakan sesuatu yang harus diuji. Pengujian-pengujian tersebut membutuhkan suatu data tambahan. Sehingga kesimpulan pada suatu saat akan mengalami perubahan secara terus menerus, maka akan diperoleh kemajuan. Suatu kesimpulan bisa dikatakan sebagai kesimpulan yang benar, jika kemajuan-kemajuan itu benar-benar telah menunjukkan bahwa semua kemajuan-kemajuan lain yang mungkin tidak berlaku terhadap pengujian berdasarkan pengalaman tersebut.
2. Alam semesta terbentuk menurut teori Big Bang.
Teori big bang disebut juga dengan teori ledakan, atau teori dedantum. Menurut teori ini terbentuknya alam semesta terjadi karena adanya suatu massa yang sangat besar, meledak dengan hebatnya, akibat adanya reaksi inti. Massa yang meledak kemudian berserakan dan mengembang dengan sangat cepat serta menjauhi pusat atau inti ledakan. Setelah beberapa juta tahun, massa yang berserakan itu berbentuk kelompok-kelompok dengan berat jenis yang relatif kecil dari massa semula. Kelompok itulah yang dikenal sebagai galaksi. Kelompok galaksi ini terus bergerak menjadi titik intinya.
Teori ini bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat, namun juga ada orang yang tidak mau menerimanya, yaitu golongan orang-orang yang menganggap bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang dengan sendirinya ada dan tidak akan musnah. Bukti penting bagi Big Bang adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang angkasa. Dalam berbagai penelitian, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium di alam semesta bersesuaian dengan perhitungan teoritis konsentrasi hidrogen-helium sisa peninggalan peristiwa Big Bang. Jika alam semesta tak memiliki permulaan dan jika ia telah ada sejak dulu kala, maka unsur hidrogen ini seharusnya telah habis sama sekali dan berubah menjadi helium.
3. Pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran global tentang masalah-masalah lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan pertama diperkenalkan oleh Strategi Pelestarian Dunia pada tahun 1980. Laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berjudul ‘Masa Depan Kita Semua’ (1987) meletakkan pembangunan berkelanjutan di agenda global. ‘Masa Depan Kita Semua’ mengartikan pembangunan sebagai pembangunan yang bisa berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Ada empat syarat yang harus dipenuhi bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan :
• Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi yang secara ekologis, benar;
• Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestari nya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya tak-terbarukan (non-renewable resources);
• Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
• Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity)
Salah satu contoh dari pembangunan berkelanjutan yaitu, adanya Cagar biosfer, yang merupakan kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat regional. Jaringan Cagar Biosfer dunia memberikan beberapa contoh terbaik tentang Pendekatan Ekosistem, yang di adopsi oleh Konvensi Keanekaragaman hayati, dan saat ini sedang berjalan.
Pengurangan rumah kaca juga bisa merupakan salah satu contohnya, karena hal ini bisa mengurangi kerusakan ozon, yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan banyaknya rumah kaca, lubang ozon akan selalu melebar, namun jika rumah kaca atau sesuatu yang terbuat dari kaca dan bisa merusak lapisan ozon dikurangi, maka sedikit demi sedikit akan bisa mengurangi kerusakan ozon juga.



Daftar pustaka,
Drs. Ibnu Mas’ud dan Drs. Joko Paryono. 1999. IAD. (Bandung: Pustaka Setia)
Drs. Mawardi dan Ir. Hidayat. 2007. IAD,IBD, ISD. (Bandung: Pustaka Setia)
http://id.wikipedia.org/wiki/pembangunan-berkelanjutan
http://www.dephut.go.id/informasi/phpa/tamnas/cagarbiosfer.htm
http://bennysyah.edublog.org/2007/01/23/dasakarya-pengelolaan-lingkungan-hidup
http://www.rudyct.com

Pengertian Fiqh dan Sejarah perkembangannya

1. Pengertian
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqh.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh adalah mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqh Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain.

2. Sejarah perkembangan Fiqh
Zaman Rasulullah S.A.W.
Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri. Namun, terdapat sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari al-Quran dan as-Sunnah kerena:
1. Penguasaan bahasa Arab yang baik;
2. Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
3. Mereka merupakan para Perawi Hadis.
Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaedah qias. Inilah cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah. Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi

Simpulan :
Dari paparan makalah tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian Fiqh adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil tafsil (jelas)
2. Sejarah perkembangan fiqh meliputi :
1. Periode Risalah
2. Periode Khulafaur Rasyidin
3. Periode awal pertumbuhan fiqh
4. Periode Keemasan
5. Periode tahrir, tahrij dan tarjih dalam mazhab fiqh
6. Periode kemunduran fiqh
Oleh UMI DAN DIAH

Akal dan wahyu

A.

Pengertian akal
Akal berasal kata Arab, al-‘aql العقل) ( yang dalam bentuk kata benda (isim) tidak ditemui dalam Alquran. Alquran hanya membawa bentuk kata kerjanya (fi’il) yang diulang sebanyak 49 kali. Kata al-‘aql menurut bahasa berarti mengikat dan menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat, dan menahan lidah dari berbicara.
Selanjutnya al- ‘aql juga mengandung arti kalbu, dan kata ‘aqala mengandung arti memahami. Al Jurjani mengemukakan pengertian akal sebagai berikut,
العقل جوهرروحا نى خلقه تعا لى متعلقا ببدن الانسا ن وقيل العقل نور في القلب يعرف الحق و البا طل. وقيل العقل جوهر مجرد عن المادة يتعلق با لدن تعلق التدبير والتصرف. وقيل العقل قوةللنفس النا طقة فصريح بان القوة العاقلة امر مغا ير للنفس النا طقة وان الفاعل فى التحقيق هو النفس . والعقل عالة لها بمنزلة السكين بالنسبة الى القا طع وقيل العقل والفس والذهن واحدة الا انها سميت عقلا لكونها مدركة وسميت نفسا لكونها متصرفة وسميت ذهنا لكونها مستعدة للا دراك
“Akal ialah subtansi jiwa yang dicptakan Allah SWT yang berhubungan dengan badan manusia. Akal juga berarti cahaya (Annur) dalam hati untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan. Ada pula yang mengartikan akal dengan subtansi yang murni dari materi yang hubungannya dengan badan dalam bentuk mengatur dan mengendalikan. Menurut pendapat lain, akal ialah suatu kekuatan bagi jiwa berfikir. Karena jelas bahwa kekuatan berfikir berbeda dengan jiwa berfikir, sebab pelaku perbuatan sebenarnya adalah jiwa sedang akal adalah alat bagi jiwa sebagaimana pisau alat bagi tukang potong. Adapula yang menyamakan arti al aql, an nafs, dan al zihn. Dinamakan al aql karena ia bisa menangkap (almudrikah), dinamakan an nafs karena ia pengendali (mutasarrifah), dan dinamakan al zihn karena ia siap untuk menangkap sesuatu (musta’iddat l al idrak).
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan, bahwa akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa.
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

B. Pengertian wahyu
Menurut pengertian bahasa, wahyu ialah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan tepat. Sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Dalam terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-Qur’an-bacaan mulia. Al-Qur’an adalah kitab dan firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi SAW. Lewat penurunan wahyu , sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 1-5:
ا لم . ذ لك ا لكتا ب لا ريب فيه هد ي للمتقين . اللذ ين يؤ منو ن با لغيب و يقيمون الصلا ة و مما ر زقنا هم ينفقو ن . و الذين يؤ منون بما انز ل اليك و ما انز ل من قبلك وبا لاخرة هم يوقنون . اولئك علي هدي من ربهم ؤ الئك هم المفلحون .
Artinya:
“ Kitab Al-Qur’an ini, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dan yang beriman kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sebelummu, serta yakin akan adanya kehidupan akhirat, mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Q.S. Al-Baqarah : 1-5)

C. Peran Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Kaum Mutakallimin
Dalam analisis kalam, masalah awal yang muncul adalah hubungan akal dengan wahyu. Harun Nasution membuat empat kategori, yang merupakan pokok persoalan kalam. Keempat persoalan itu meliputi, kemampuan manusia mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib. Jika kewajiban-kewajiban itu tidak dilakukannya maka ia akan mendapat hukuman atau siksaan dari Tuhan.
Meskipun kaum Mu’tazilah memberikan penghargaan sedemikian tinggi kepada akal atau rasio, namun tidaklah berarti bahwa mereka pemikir-pemikir bebas yang mendukung sepenuhnya rasionalisme murni seperti yang kadang-kadang dituduhkan orang kepadanya. Mereka adalah rasionalis-rasionalis Islam yang menghargai akal sebagai sumber kebenaran dan moral tanpa mengabaikan sedikitpun kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Bahkan wahyu bagi mereka, tidak hanya dianggap penting tetapi juga sekaligus kebutuhan manusia.
Dari aliran Asy’ariyah, al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tadak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang, sebelum wahyu turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifatNya dan kemudian percaya kepadaNya, maka orang demikian adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelum adanya wahyu, tidak percaya kepada Tuhan, ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Dengan demikian nyatalah, bahwa akal dalam pandangan al-Asy’ariyah mempunyai daya yang kecil, kalau bukan sangat kecil. Oleh karena itu, wajar kalau aliran ini memandang wahyu mempunyai fungsi yang sangat besar dan mempunyai kedudukan penting, tidak hanya dalam menjelaskan pengetahuan-pengetahuan tertentu, tetapi juga dalam menentukan kewajiban keagamaan bagi manusia.
Kaum Maturidiah, meskipun mereka seperti halnya kaum al-Asy’ariyah, disebut sebagai pendukung kaum Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah, namun mereka berbeda pandangan dengan al-Asy’ariyah dalam soal kekuatan akal. Bahkan kaum Maturidiah golongan Samarkand boleh dikatakan hampir sepaham dengan Mu’tazilah dalam masalah kedudukan akal tersebut. Bagi mereka, tiga dari empat persoalan yang diperdebatkan itu, dapat diketahui oleh akal yaitu, mengetahui adanya Tuhan, mengetahui kewajiban berterimakasih kepadaNya, mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Perbedaan golongan ini dengan golongan Mu’tazilah adalah bahwa akal menurut golongan Maturidiah tidak dapat menetapkan kewajiban manusia untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat atau buruk. Hal ini menurut meraka hanya ditentukan oleh wahyu.
Sedangkan bagi kaum Maturidiah golongan Bukhara, kemampuan akal terbatas hanya sebagai wahana bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan tidak dapat berfungsi sebagai mujib. Kewajiban-kewajiban menurut mereka, diketahui manusia hanya melalui wahyu. Karena itulah dalam pandangan mereka akal hanya dapat mengetahui dua di antara empat persoalan keagamaan tersebut yaitu: mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

D. Fungsi Wahyu
Berkaitan dengan fungsi wahyu, Harun Nasution mengikuti pemikiran kalam Muhammad Abduh, bahwa ada dua fungsi pokok wahyu, yaitu:
Pertama, memberi keyakinan akan adanya hidup sesudah mati. Wahyu akan menjelaskan perincian tentang hidup sesudah mati itu, yang oleh akal manusia tidak akan diketahui secara mendetail. Kedua, wahyu akan menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dan syariatnya yang akan membimbing manusia tentang moral yang benar.
Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
Dalam pendapat aliran Asy’ariyah, wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariyah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
Adapun aliran Maturidiah, bagi cabang Samarkand, wahyu perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan dalam pendapat cabang Bukhara, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa. Wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri. Dalam kaum mutakalimin mengalami perbedaan dalam peran akal dan wahyu. Apa yang dikatakan oleh setiap golongan tentang akal dan wahyu mengalami perbedaan. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Sedangkan Al As’ari dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Fungsi wahyu salah satunya yaitu memberi keyakinan akan adanya hidup sesudah mati.

Kronologis kehidupan keberagaman / rohaniyah masyarakat Indonesia pada zaman prasejarah Indonesia

Sejarah kuno Indonesia kelihatannya sudah tersusun baik, padahal sesungguhnya itu masih sangat cerai berai. Masih banyak wilayah dan bagian yang kosong yang hanya dapat ditulis dengan bantuan hipotesis, yang terus menerus menghadapi revisi setiap ada penemuan yang baru. Dilihat sepintas lalu, sejarah Indonesia banyak meninggalkan keterangan-keterangan tertulis berupa prasasti dan karya sastra. Bangsa Indonesia akan mengingatkan kita tentang jaman Prasejarah, karena alat-alat yang digunakan pada jaman tersebut ditemukan di Indonesia, mulai dari palaeolithikum hingga neolithikum.
Jaman prasejarah dimulai sejak dari permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kira-kira abad kelima. Ditinjau dari segi etimologis, kata prasejarah berasal dari dua suku kata, yaitu pra dan sejarah. Kata pra, berarti belum sedang kata sejarah memiliki arti yang bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah tulisan. Jadi jaman prasejarah berarti kurun waktu sebelum manusia mengenal tulisan.
Jaman prasejarah hanya meliputi jaman terakhir dari pembagian jaman dalam sejarah bumi yang didasarkan atas geologi, yaitu dimulai quartair. Disamping ada pembagian jaman prasejarah berdasarkan sejarah geologi bumi. Jaman prasejarah juga bisa dibagi menurut archeologi yaitu ilmu yang mempelajari hasil-hasil kebendaan dari kebudayaan-kebudayaan yang sudah silam, yaitu yang didasarkan atas bahan-bahan berupa peninggalan dari kebudayaan manusianya sendiri. Maka atas benda-benda peninggalan itu, prasejarah dibagi menjadi jaman batu dan jaman logam. Jaman batu dibagi menjadi tiga jaman, yaitu jaman palaeolithikum, jaman mesolithikum, dan jaman neolithikum.
A. Palaeolithikum.
Alam menyediakan segala kebutuhan untuk hidup, dan untuk menjaga kelangsungan hidup, maka semua makhluk hidup harus makan. Sebagai makhluk manusia memiliki kelebihan daripada makhluk yang lain, yaitu memiliki akal yang berkembang. Oleh karena itu dalam memperoleh makanan manusia tidak hanya menggunakan indra dan fisikya, tetapi lebih dari itu, ia banyak menggunakan akalnya. Dalam kelebihan menggunakan akalnya inilah manusia kemudian bisa menciptakan berbagai alat-alat untuk membantu dan mempermudah mencari makanan.
Pada jaman ini alat-alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu berupa batu yang masih kasar, hanya saja di bentuk sesuai dengan alat yang mereka butuhkan. Adapun tentang kebudayaan kerohaniannya, kita tak dapat mengetahui dengan sebenarnya, bukti-bukti boleh dikatakan tidak ada, sama sekali tidak mencukupi untuk memungkinkam kita untuk mengambil kesimpulan dan memberi gambaran yang nyata.
B. Mesolithikum.
Kita ketahui bahwa masyarakat palaeolithikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Setelah pleistosen berganti dengan holocen, kebudayaan palaeolithikum tidak begitu saja lenyap, melainkam masih terus berlangsung. Kecuali mengalami perkembangan selanjutnya.
Di Indonesia kebudayaan palaeolithikum mendapat pengaruh baru dari daratan Asia yang membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum. Mesolithikum disebut juga jaman batu tengah, dimana hasil-hasil budaya masih mirip dengan periode palaeolithikum. Kebudayaan mesolithikum banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan baru-baru ini di Flores.
Manusia pada jaman itu masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (food gathering), yaitu mengumpulkan makanan sebanyak-banyaknya, seperti pada jaman prasejarah. Namun sebagian sudah memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga tidak mustahil bahwa bercocok tanam secara kecil-kecilan sudah dikenal pula. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (kyokkenmodinger) dan didalam gua-gua (abris sous roche), terutama disitulah didapatkan banyak bekas-bekas kebudayaannya.
Perkataan Denmark, kyokkenmodinger merupakan kebudayaan mesolithikum yang artinya sampah-sampah dapur. Sampah-sampah tersebut ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut, diantara langsa di Aceh dan Medan. Hidupnya dari siput dan kerang. Kulit-kulit kerang yang dibuang selama waktu yang bertahun-tahun, akhirnya menjelmakan bukit kerang yang tingginya sekitar tujuh meter. Bukit-bukit tersebut dinamakan kyokkenmodinger. Dalam bukit-bukit tersebut ditemukan kapak-kapak genggam, yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam masa palaeolithikum).
Kapak pada masa mesolithikum dinamakan pebble atau kapak Sumatra. Satu macam lagi kapak yang ditemukan dimasa ini yaitu hache courte yaitu kapak pendek. Selain kapak-kapak dari bukit kerang, ditemukan juga berbagai pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Pipisan ini rupanya tidak hanya digunakan untuk menggiling makanan, tetapi juga digunakan untuk menghaluskan cat merah, sebagaimana ternyata dibekas-bekasnya. Untuk apa cat itu digunakan belum dapat dikatakan dengan pasti. Mungkin sekali pemakaiannya ada hubungannya dengan keagamaan, yaitu dengan ilmu sihir. (Merah adalah warna darah. Darah adalah tanda dan sendi hidup, maka cat merah diluaskan pada badan sebagaimana masih menjadi kebiasaan berbagai suku bangsa, mempunyai maksud agar tambah kekuatannya dan tambah tenaga hidupnya).
Dengan keterangan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh manusia pada waktu itu, bisa dikatakan bahwa hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat di alam sekitarnya dilanjutkan, ini terbukti dari bentuk alat-alatnya yang terbuat dari batu, tulang serta dari kulit kerang.
Menurut Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia 1, tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolithikum adalah abris sous roche, yaitu gua yang dipakai tempat tinggal. Menurut Fritz Sarasin, yang melakukan penelitian beberapa gua didaerah Lamoncong Sulawesi Selatan pada tahun 1893-1896, menyimpulkan bahwa kebudayaan abris sous roche adalah kebudayaan asli masyarakat Toala.
Beliau juga mengatakan bahwa sebagian besar alat-alat yang ditemukan terdiri dari tulang, sehingga timbul istilah “Sompung bone- culture”. Yang menjadi keganjilan yaitu di gua-gua tersebut tidak ditemukan kapak Sumatra dan kapak pendek, yang menjadi mesolithikum Sumatra. Hanya di beberapa gua di daerah Besuki (Jawa Timur) yang penyelidikannya dilakukan oleh Van Heekeren, ada juga yang terdapat pebbles disamping banyak ditemukan ujung panah dan alat-alat dari tulang. Selain itu Soekmono juga mengatakan dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, bahwa di Sulawesi Selatan menjelang akhir abad yang lalu, di daerah Lamoncong masih didiami suku-suku Toala dan ditemukan abris sous roche. Corak khusus ujung-ujung panah Toala, menjadikannya perbedaan dengan ujung-ujung panah dari Jawa Timur. Adapun manusia yang menjadi pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Papua-Melanesoide.
Di daerah Tonkin di Indo-China, terdapat pegunungan yang berdekatan, yaitu Bascon dan Hoabinh. Didaerah ini juga terdapat alat-alat yang menunjukkan adanya suatu kebudayaan yang sudah dikenal sebagai mesolithikum. Penyelidikan menunjukan bahwa di Tonkin itulah letaknya pusat kebudayaan mesolithikum Asia Tenggara, dan dari situ tersebar berbagai jurusan. Sampainya di Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat. Di situ tidak hanya ditemukan alat-alatnya saja, namun juga tulang belulang manusia. Sebenarnya Tonkin didiami oleh dua golongan bangsa, yaitu jenis Papua-Melanesoide dan Australoide. Dan bangsa Papua Melanesoide inilah yang bekebudayaan alat-alat mesolithikum yang belum diasah atau pebble sedangkan kecakapan mengasah rupanya hasil pengaruh dari bangsa Mongoloide yang sudah lebih tinggi peradabannya.
Soekmono mengatakan, selain di daerah-daerah yang telah di terangkan diatas, di Bandung juga ditemukan hasil-hasil kebudayaan yang berupa flakes. Flakes disini dibuat dari batu-batu indah yang berwarna hitam yang disebut dengan obsidian. Obsidian sebagai bahan untuk flakes, di daerah danau Bandung itu ternyata bukan dari situ pula asalnya, melainkan di daerah Nganggrek di sebelah utara Garut. Alat-alat obsidian ditemukan pula di daerah Danau Kerinci di Sumatra. Selain obsidian, di daerah Danau Bandung dan Kerinci juga ditemukan pula pecahan-pecahan tembikar dan benda-benda perunggu. Maka untuk umurnya terdapat perbedaan diantara para ahli, ada yang mengatakan neolithikum dan ada yang mengatakan mesolithikum.
Kesenian mesolithikum yang bertingkat tinggi, telah juga ditemukan bekas-bekasnya, ialah di gua leang-leang di Sulawesi Selatan berupa gambar berwarna dari seekor babi hutan sedang lari, dan di beberapa gua lainnya gambar-gambar atau cap tangan yang berwarna merah. Menurut van Heekeren, gambar babi hutan itu umurnya kira-kira 4000 tahun. Jadi bertepatan dengan berakhirnya jaman mesolithikum dan dimulainya jaman neolithikum.
C. Neolithikum
Kebudayaan neolithikum dapat dikatakan bahwa kebudayaan pertama yang tersebar di kepulauan kita, yaitu Indonesia. Soekmono mengatakan bahwa jaman neolithikum merupakan revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Penghidupan food gathering menjadi food producing. Perubahan inilah yang dimaksud revolusi tersebut. Pada jaman ini manusia tela mengenal bercocok tanam dan berternak. Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang, dan tidak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kehidupan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dijinakkan. Cara untuk memanfaatkan hutan belukar dengan menebang dan membakar pohon-pohon serta belukar mulai dikembangkan. Seingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana.
Mengenai alat-alatnya diketahui bahwa yang menjadi ciri istimewa dari neolithikum yaitu kepandaian mengasahnya. Kebudayaan yang ada pada masa ini yaitu kapak persegi dan kapak lonjong. Kapak-kapak persegi di Indonesia terutama sekali didapatkan di Sumatra, Jawa, dan Bali. Alat-alat atau kapak-kapak yang ditemukan tersebut kemungkinan digunakan untuk upacara-upacara tertentu. Seperti pacul yang indah dipakai pada upacara permulaan mengerjakan sawah, dan tarah dari calchedon pada upacara mendirikan sebuah rumah.
Kebudayaan kapak lonjong dapat diduga lebih tua dari pada tradisi kapak persegi. Menurut T. Harrison dalam ekskavasi yang dilakukan di gua niah Sarawak dan menurut pertanggalan C-14 yang diperolehnya, kapak lonjong ditemukan dalam lapisan tanah yang berumur +8000 tahun. Daerah pusat kapak lonjong dikepualauan kita ialah Irian. Tetapi kapak itu juga ditemukan di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak (Kalimantan Utara).
Selain kebudayaan-kebudayaan tersebut juga ada kebudayaan-kebudayaan lain, seperti perhiasan, tembikar, dan pakaian. Di Meloko (Sumba) banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang-tulang manusia. Terang bahwa dalam hal ini ada soal penguburan yangb serupa dengan apa yang masih juga terdapat pada berbagai bangsa sekarang, ialah bahwa mula-mula mayat itu ditanam dan kemudian setelah beberapa waktu tulang-tulangnya dikumpulkan untuk ditanam kedua kalinya dengan disertai berbagai upacara.
Dalam buku Sejarah Islam Indonesia dijelaskan bahwa, jaman neolithikum kehidupan rohaniahnya lebih jelas, dengan ditemukannya bahan-bahan yang di duga kuat sebagai sarana pemujaan teradap arwah. Suatu kepercayaan bahwa setelah kehidupan nyata di dunia ini, akan berlanjut kehidupan baru, yakni setelah mati. Yaitu kepercayaan bahwa roh seseorang tidak akan lenyap pada saat seseorang telah meninggal dunia. Upacara yang paling mencolok yaitu upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang di anggap terkemuka oleh masyarakat. Si mati biasanya di bekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan lain-lainnya yang dikubur bersama-sama, dengan maksud agar perjalanan si mati ke dunia arwah dan kehidupan selanjutnya akan terjamin sebaik-baiknya. Tujuannya adala agar roh si mati tidak tersesat dalam perjalanan menuju ke tempat arwah nenek moyang atau tempat asal mereka.
Kematian dipandang tidak membawa perubahan esensial dalam kedudukan, keadaan maupun sifat seseorang. Seseorang bermartabat rendah akan rendah juga kedudukannya di dunia akherat. Biasanya hanya orang-orang yang terkemuka atau yang telah pernah berjasa dalam masyarakat sajalah yang akan mencapai tempat khusus dialam baka. Tetapi di pihak lain, jasa amal atau kebaikan, yaitu bekal untuk mendapatkan tempat khusus di dunia dan akherat, dapat diperolehdengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang mencapai titik puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan batu besar. Menempatkan si mati didalam tempat yang terbentuk dari susunan batu besar (seperti peti batu, bilik batu, sarkofagus, dan sebagainya), baik yang dikikir maupun yang dilukis dengan berbagai lambang kehidupan dan lambang kematian, merupakan tindakan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu si mati dan yang ditinggalkan. Jadi batu-batu besar itu menjadi lambang perlindungan bagi manusia berbudi baik. Gagasan hidup di akherat berisi keistimewaan yang belum atau yang sudah didapatkan di dunia fana, hanya akan dapat di capai di dunia akhirat berdasarkan perbuatan-perbuatan amal yang pernah dilakukan selama hidup manusia, ditambah dengan besarnya upacara kematian yang pernah diselenggarakan.
Bangunan-bangunan besar dari batu-batu besar biasanya dikelompokan menjadi kehidupan megalithikum. Adapun hasil-hasil yang terpenting dari kebudayaan megalithikum adalah,
Menhir, yaitu tiang atau tugu yang mejadi sarana pemujaan yang melambangkan tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang.
Dolmen, memiliki fariasi bentuk, yang tidak berfungsi sebagai kuburan, tetapi bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen di buat untuk pelinggih roh atau atau tempat pesajian.
Sarcofagus, atau keranda. Bentuknya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup.
Kubur batu, keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, begitu pula alas dan bidang atasnya. Sebenarnya tidak berbeda dengan peti mayat dari batu.
Punden berundak-undak. Bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-tingkat.
Arca-arca melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan. Hasil-hasil kebudayaan megalithikum memiliki hubungan dengan keagamaan yang berkisar kepada pemujaan roh nenek moyang. Dengan latar belakang kepercayaan akan kehidupan diakhirat dan alam pikiran yang berdasarkan pemujaan nenek moyang, terjelmakanlah berbagai macam bangunan yang kita sebut hasil-hasil kebudayaan pada jaman megalithikum.

Orang Sakai di Riau

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk yang sangat padat. Selain itu masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku. Sehingga dikenal dengan istilah bertbeda-beda tetapi tetap jua. Ada suku Madura, suku Sakai di Riau, suku Samin yang ada di Bojonegoro dan sebagainya, yang merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi negara Indonesia. Akibat dari adanya bermacam-macam suku tersebut Indonesia bisa memiliki berbagai kebudayaan, baik dari segi bahas, mata pencaharian maupun agama.
Dalam makalah ini akan diterangkan tentang suku Sakai yang ada di Riau. Orang Sakai berada lumayan jauh dari kota, selain itu masyarakatnya tidak terlalu padat. Hal ini dikarenakan dengan beberapa hal yang akan diterangkan dalam makalah.
A. Lokasi dan Lingkungan hidup orang Sakai.
Di propinsi Riau ada lima kabupaten. Yaitu, Kab. Kampar, Kab. Bengkalis, Kab. Indragiri hulu, Kab. Riau, serta ada satu kota madya. Yaitu Pekan Baru yang menjadi Ibukota Riau. Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis. Sedangkan orang Sakai terbanyak adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau. Sebagian kecil lainnya hidup di wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang berpenduduk asli suku Sakai ada di desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei Limau dan sebagainya.
Tempat tinggal orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan rawa-rawa. Melalui jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan, tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang Sakai tidak sepenuhnya terasing dari masyarakat luas Riau. Karena lingkungan hidup mereka jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa, atau daerah berpaya-paya, berhutan serta bersungai.
Fauna dan flora lingkungan hidup mereka sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya lingkungan alam bukan pantai. Mereka hidup tepencar-pencar dalam sebuah satuan wilayah yang berada dalam sebuah satuan administrasi yang dinamakan batin (dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan kepenghuluan kalau jumlah penduduknya banyak. Pada masa sekarang perbatinan sudah tidak ada lagi, yang ada adalah penghuluan (desa).
Ketika kota Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian besar yang menghuni wilayah-wilayah disekitar kota tersebut diminta pergi dengan diberi pesangon untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta tanaman-tanaman yang ada diladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah tempat pemukiman ke kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai lainnya, dimana mereka mempunyai kerabat. Sedangkan sebagian lainnya berpindah ketempat pemukiman masyarakat terasing yang didirikan oleh Departemen sosial beberapa tahun kemudian setelah penggusuran tersebut.
B. Masyarakat dan Kebudayaan Orang Sakai.
1. Sejarah dan asal muasal orang Sakai.
Bechary Hasmy (1970), mantan kepala Kecamatan Mandau, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, A-ir, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal itu mencerminkan pola-pola kehidupan mereka, di kampung, tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Sedangkan menurut Parsudi suparlan, dari seorang bekas kepala perbatinan (dukuh) sakai yang bernama Saepel, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari kata sekai, yaitu nama sebuah cabang anak sungai yang bermuara di sungai Mandau. Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa nama sakai juga berasal dari kata saka, yaitu tiang rumah punggung utama, atau juga kata sikai (tergolong spesies calamus), yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah dan banyak terdapat di hutan-hutan tempat hidup mereka, yang daunnya di gunakan untuk atap rumah.
Menurut Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan. Gosib kemudian menjadi sebuah kerajaan, kemudian kerajaan gasib di hancurkan oleh kerajaan aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang orang sakai.
Dalam uraian Saepel (mantan batin beringin sakai), yang di wawancarai oleh Parsudi Suparlan, mengenai asal muasal orang sakai tercakup sejarah awal mula adanya perbatinan lima dan perbatinan delapan. Yang coraknya seperti dua paruh masyarakat. Adapun asal muasal orang sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam versi orang sakai itu sendiri adalah sebagai berikut.
a. Perbatinan lima.
Orang sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh).
Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
b. Perbatinan Delapan.
Beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja, sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.
Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang di dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemidian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami. Dan raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam.
Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.
C. Kependudukan.
Menurut Koentjaraningrat, dkk, yang mengutipcatatan Departemen Sosial Propinsi Riau pada tahun 1982, terdapat 4.995 orang sakai. Mereka hidup di 13 desa (kepenghuluan). Adapun desa-desa yaitu seperti yang terlihat dibawah ini.
No Desa Orang Keluarga
1 Pinggir 221 48
2 Semunai 139 38
3 Muara Basung 519 114
4 Kulin 64 58
5 Air Jamban 566 118
6 Tengganau 322 58
7 Petani 569 114
8 Kuala Penaso 142 50
9 Betulu 155 25
10 Syam-syam 927 184
11 Minas 139 29
12 Kandis 398 71
13 Sebangu 874 176
Menurut Parsudi Suparlan keluarga orang Sakai sangat kecil, mereka rata-rata mempunyai dua orang anak. Tingkat kematian balita sangat tinggi, begitu juga tingkat kemandulan. Kelambatan pengembangan jumlah penduduk orang Sakai tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu;
1. Mutu gizi yang rendah dari makanan sehari-hari, yaitu menggalo mersik, atau ampas dari hasil pemprosesan ubi kayu beracun.
2. Tingkat klebersihan tubuh dan lingkungan hidup amat rendah.Mandi dan mencuci pakain di lakukan tidak teratur.
3. Kurangnya mengadakan hubungan kelamin diantara suami istri, karena seringnya suami pergi kehutan.
D. Mata Pencaharian dan kehidupan ekonami.
Berladang.
Setiap orang Sakai harus memiliki sebidang tanah, bahkan orang dewasa atau remaja yang masih bujangan pun harus memiliki tanah atau ladang. Karena hanya dari ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Untuk pembuatan ladang melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak ada sarang semutnya.Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka memberi tahu Batin, tentang maksud membuka ladang diwilayah hutan yang mereka pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada dihutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemidian mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman lainnya.
Menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan.
Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan diladang berkurang atau seusai menanam padi.Disamping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.
E. Agama
Dalam buku Masyarakat terasing di Indonesia, di katakan bahwa agama orang Sakai bersifat Animistik. Agama asli orang sakai mungkin memang berdasarkan kepercayaan kepada berbagai makhluk halus, yang disebut antu. Mereka meyakini bahwa tidak ada penggolongan antu, jadi baik kemalangan, penyakit, keberuntungan atau juga kebahagiaan dapat disebabkan karena jenis antu yang sama. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut pada dasarnya sama, yaitu dengan dikir. Orang sakit diobati dengan dikir, begitu juga orang yang sial. Prinsip dikir ini adalah berdamai dan menyenangkan hati para antu. Caranya dengan memberikan segala kemewahan dan kenikmatan hidup yang digambarkan secara simbolik dalam pentas tarian yang dilakukan oleh sidukun.

F. Kesenian dan Kerajinan.
Orang Sakai dikenal sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Semua orang bisa membuatnya. Karena kebanyakan peralatan mereka terbuat dari anyaman dan ikatan. Mereka mengayam berbagai wadah dan tempat untuk membawa barang. Disamping itu mereka juga ahli dalam membuat berbagai macam jenis mainan, yang merupakan replika dari rumah, mobil, istana, kapal terbang dan sebagainya yang mereka buat dari daun kapau. Kesenian yang biasanya mereka nikmati adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan). Dongeng-dongeng yang masih sering diceritakan kepada anak-anak adalah dongeng-dongeng hewan, terutama dongeng si kancil.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Orang Sakai berada di Propinsi Riau. Menurut Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan. keluarga orang Sakai sangat kecil, mereka rata-rata mempunyai dua orang anak. Tingkat kematian balita sangat tinggi, begitu juga tingkat kemandulan. Orang Sakai untuk memenuhi kebutuhannya, mereka bertani, selain itu menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan. Agama orang Sakai bersifat Animistik. Orang Sakai dikenal sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Kebudayaan ini karena benda-benda mereka kebanyakan terbuat dari anyaman.

sejarah dan Humaniora

Sejarah ialah cerita. Yaitu cerita perubahan-perubahan, peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian masa lampau yang telah diberi tafsir atau alasan dan dikaitkan sehingga membentuk suatu pengertian yang lengkap.
Sebagaimana kita ketahui sejarah merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkembang dan dengan metode-metode serta standar-standar sendiri. Mempelajari sejarah merupakan suatu jenis berpikir yang tertentu yang disebut pemikiran historis. Cara berpikir historis berbeda dengan cara berpikir di dalam ilmu pengetahuan alam. Yang pertama bertujuan membangun suatu rekonstruksi yang cerdas dari masa lampau. Yang kedua cara berpikir di dalam ilmu pengetahuan alam adalah mengenai dunia disekeliling kita, mereka mendasarkan datanya pada akal pikiran (sense perception). Semuanya tersebut merupakan sedikit pengetahuan dari sejarah.
Sedangkan humaniora merupakan ilmu yang mempelajari tentang kemanusiaan. Dalam makalah ini akan diterangkan tentang hubungan sejarah dengan humaniora. Yang sebenarnya antara sejarah dengan humaniora tidak begitu jauh perbedaannya.
A. Pengertian sejarah dan humaniora
Sejarah merupakan salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan dimasa lampau, beserta segala kejadian-kejadiannya, dengan maksud kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang, serta arah program masa depan. Sejarah bisa diambil dari kegiatan manusia kota maupun desa. Pemasalahan yang menjadi bidang kajian sejarah kota sangat luas. Begitu juga di desa.
Sedangkan humaniora menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Kategori yang tergolong dalam ilmu ini antara lain: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, Psikologi.
B. Hubungan antara Sejarah dengan humaniora.
Disamping anggapan bahwa sejarah merupakan ilmu, kadang-kadang juga dianggap suatu bentuk sastra, suatu cabang daripada studi humaniora, suatu pembantu bagi ilmu-ilmu sosial dan suatu metode untuk lebih mengerti semua seni dan ilmu. Apakah diantara studi humaniora ataupun bentuk sastra dan ilmu tersebut, kesemuanya tidak mempengaruhi cara kerja sejarawan untuk menganalisa kesaksian yang ada sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lampau manusia. Namun kita akan melihat bahwa jenis bukti-bukti yang dicarinya dan cara ia merangkai-rangkaikannya ada pengaruhnya. Prosedur analitis ini disebut “Metode Sejarah”. Beberapa ahli menganggap bahwa metode inilah merupakan makna satu-satunya daripada sejarah.
Cara menulis sejarah mengenai sesuatu tempat, periode, seperangkat peristiwa, lembaga atau orang, bertumpu pada empat kegiatan pokok;
1. Pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu, dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang boleh jadi relevan.
2. Menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian daripadanya) yang tidak otentik.
3. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik,
4. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah yang berarti.
Beberapa ahli menganggap bahwa metode inilah yang merupakan makna utama jikapun tidak merupakan makna satu-satunya daripada sejarah. Sejarawan menggunakan metode sejarah untuk bukti yang diwariskan pada masa lampau dan mengumpulkan data yang dapat dipercaya sebanyak-banyaknya. Data itu dapat digunakan oleh para filsuf, sarjana ilmu politik, sosiologi, kritikus sastra, atau sarjana fisika untuk menyusun suatu sejarah pemikiran, sejarah lembaga politik, kebiasaan-kebiasaan sosial, sastra atau fisika. Tetapi bagi sejarawan data ini digunakan untuk menyusun deskripsi tokoh dan tempat pada masa lampau, penyajian gagasan-gagasan lampau atau sintesa daripada periode dan budaya yang telah lampau.
Perlu dijelaskan apakah ada hubungan antara sejarah dengan humaniora, maupun ilmu-ilmu sosial. Sebenarnya antara ilmu-ilmu tersebut tidak terdapat perbedaan yang patut dilebih-lebihkan. Pokok bahasannya yaitu manusia. Manusia merupakan makhluk sosial serta intelektual.
Dalam semua bidang, ilmuwan humaniora berminat pada contoh-contoh yang baik, serta norma yang baik. Sedangkan ilmuwan social lebih menitikberatkan kepada ramalan dan pengendalian. Semua ilmu tersebut juga memandang masa. Humaniora menitikberatkan pada masa lampau, dan ilmu-ilmu sosial menitikberatkan pada masa kini dan masa depan. Sedangkan sejarah juga menaruh minat kepada masa lampau.
Pada humaniora banyak membicarakan masalah pemeliharaan warisan budaya, yakni pengalaman pikiran. Adat istiadat, sopan santun, agama, lembaga, tokoh-tokoh sastra, musik, seni, ilmu dan kearifan masa lampau guna mendapatkan contoh-contoh yang unik mengenai wilayah-wilayah yang terisolasi, masa-masa yang jauh atau garis perkembangan yang khusus. Jika seorang sejarawan menganggap dirinya pengawal daripada warisan budaya, dan penafsir daripada perkembangan manusia, juga ingin memperoleh generalisasi-generalisasi yang nampaknya sah serta memberikan keterangan-keterangan yang berguna mengenai perkembangan masa kini, pikiran, sopan santun, dan lembaga, maka oleh usaha tambahan itu ia tidak berkurang kedudukannya, selaku sejarawan.
Sejarawan sebagai ilmiawan humaniora dengan sejarawan sebagai ilmiawan ilmu-ilmu sosial, tidak perlu menjadi dua orang, mereka dengan mudah bisa menjadi satu. Dan manfaat daripada yang satu itu, baik untuk humaniora maupun ilmu-ilmu sosial akan sangat bertambah. Karena adakalanya humaniora digunakan para sejarawan untuk memberikan sumbangan kepada usaha pengertian masyarakat dengan jalan menemukan hubungan-hubungan dan perkecualian –perkecualian dalam generalisasi.










BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Sejarah dengan humaniora tidak perlu dibedakan secara berlebih-lebihan, karena diantara keduanya sangat berhubungan dan berkaitan. Sejarah objeknya yaitu manusia, begitu juga humaniora objeknya manusia. Kadang-kadang sejarah dianggap suatu bentuk sastra, suatu cabang daripada studi humaniora. Walaupun demikian, meskipun hal itu benar, maupun salah tidak mempengaruhi cara kerja sejarah untuk menganalisa kesaksian-kesaksian yang ada sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lampau.
Ilmuwan humaniora berminat pada contoh-contoh yang baik, serta norma yang baik. Sedangkan ilmuwan social lebih menitikberatkan kepada ramalan dan pengendalian. Semua ilmu tersebut juga memandang masa. Humaniora menitikberatkan pada masa lampau, dan ilmu-ilmu sosial menitikberatkan pada masa kini dan masa depan. Sedangkan sejarah juga menaruh minat kepada masa lampau.

Periwayatan Hadist

Banyak sekali kitab-kitab yang telah ada, yang menghimpun hadist-hadist Rosulullah. Seperti Shahih Bukhori dan Muslim. Sebelumnya telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al hadist atau al riwayat, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan periwayatan hadist.
Menurut istilah ilmu hadist, yang dimaksud dengan al riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Ada tiga unsur yang harus di penuhi dalam periwayatan hadist, yaitu; (1) kegiatan menerima hadist dari periwayat hadist; (2) Kegiatan menyampaikan hadist itu kepada orang lain; (3) Ketika hadist itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi ia tidak menyampaikan hadist itu kepada orang lain, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut telah menyampaikan hadist yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu, ia tidak menyebutkan rangkain para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist.
Dalam buku Kaedah Keshasihah Hadis, ada empat syarat sahnya pribadi periwayat hadis, yaitu pelakunya haruslah;
1. Beragama Islam
2. Berstatus Mukallaf
3. Bersifat Adil
4. Bersifat Dhabith
B. Cara Nabi menyampaikan hadist
Nabi telah menyampaikan hadisnya dalam berbagai peristiwa dan cara. Yakni;
1. Pada majelis-majelis Rosulullah.
Rosulullah secara khusus dan teratur mengadakan majelis-majelis yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran Islam. Majelis-majelis yang beliau pimpin itu bukan hanya diadakan di masjid, namun juga di rumah-rumah. Pada pengajian itulah, sahabat menerima hadis yang disampaikan oleh Rosulullah kemudian menyampaikannya dan menghafalkannya.
Contoh hadits yang menerangkan dalam majelis:
قا لت النساء للنبي ص م ، غلبنا عليك الرجال فاجعل لنايوما من نفسك فوعدهن يوما لقيهن فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ فَكَانَ فِيمَا قَالَ لَهُنَّ: ما منكن امراة تُقَدِّمُ ثَلَاثَةً مِن وَلَدِها إِلَّا كَان لَهَاَ حِجَابًا مِنْ النَّار، فَقَالَت امْرَأَةٌ: وَاثْنَتَيْن فَقَا ل وَاثْنَتَيْن(رواه البخاري عن ابي سعيد الخدري)
Kaum wanita berkata kepada Nabi “kaum pria mengalah kan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari Anda. Karena itu mohon anda meluangkan satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi menjanjikan satu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu.( Dalam pengajian itu) Nabi bersabda kepada kaum wanita “tidaklah seseorang dari yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka.” Seorang wanita bertanya, dan bagaimana jika yang mati dua anak saja. Nabi menjawab dan dua anak juga.” ) Imam Bukhari dari Abi Sa’id al- Khudri(


2. Pada peristiwa yang Rosulullah mengalaminya, kemudian beliau menerangkan hukumnya.
Jika terjadi suatu peristiwa dan Rosulullah menyaksikannya, maka beliau menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Abu Hurairah telah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rosulullah lewat di muka seorang pedagang bahan makanan. Kemudian baliau bertanya kepada pedagang itu. Bagaimana barang itu dijual, lalu penjual itu menjelaskannya. Rosulullah lalu menyuruh penjual tadi memasukan tangannya. Maka orang tersebut memasukan tangannya ke dalam jualannya, sehingga tampak bagian bawah barang itu basah di campur air. Menyaksikan hal ini, Rosulullah bersabda,
“Bukanlah dari golongan kami, siapa yang menipu”. (HR. Ahmad)
3. Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, kemudian menanyakan hukumnya kepada Rosulullah
Seseorang pasti mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya maupun dengan orang lain. Begitu juga para sahabat Nabi. Peristiwa yang dialami sahabat untuk menenangkan hatinya, mereka menanyakannya kepada Rosul. Seperti:
Ketika ‘Amr bin al-’Ash menjadi panglima perang di peperangan Dzat as-Salazil, suatu malam ‘Amr bin al-’Ash bermimpi bersenggama dan keluar sperma. Ketika masuk waktu shubuh, ‘Amr lalu bertayamum dan tidak mandi jinabah karena udara terlalu dingin. Kemudian ‘Amr menjadi imam shubuh pada hari it . Para shahabat melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi. Nabi segera meminta penjelasan kepada ‘Amr tentang hal tersebut. ‘Amr menjawab, bahwa ia pernah mendengar firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
وَلَا تَقْتُلُواأَنْفُسَكُم إِنّ اللَّهَ كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Mendengar penjelasan tersebut Nabi hanya tersenyum saja dan tidak memberi komentar apa-apa.
Kediaman Nabi dalam menanggapi apa yang dilakukan oleh ‘Amr bin al-’Ash itu merupakan taqrir (ketetapan) Nabi yang menunjukkan kebolehan mandi jinabah digantikan dengan tayamum. Semestinya orang dalam kondisi mempunyai hadats besar bila ingin melaksanakan shalat, maka harus mandi dulu untuk menghilangkan hadatsnya karena ditempat itu terdapat air. Dengan ketetapan Nabi tersebut menunjukkan bahwasannya dalam kondisi cuaca dingin orang yang berhadats besar, mandi jinabah-nya boleh digantikan dengan ber-tayamum, hal tersebut dilakukan agar dapat melaksanakan shalat.
4. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh Para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rosulullah.
Banyak sekali peristiwa yang dilakukan oleh Rosulullah atau yang berhubungan dengan diri Rosulullah, yang disaksikan langsung oleh para sahabat. Umpamanya yang berhubungan dengan ibadah-ibadah sholat, puasa, haji, dan sebagainya.
C. Cara-cara sahabat menerima hadist dan menyampaikannya.
Cara-cara yang dialami para sahabat dalam menerima hadis dapat dinyatakan sebagai berikut,
1. Secara langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Sahabat ada yang menerima hadis langsung dari Nabi. Hal demikian dilakukan oleh sahabat dengan melalui majelis-majelis Rosulullah, mengajukan pertanyaan maupun dalam bentuk lainnya yang telah diterangkan di atas.
2. Secara tidak langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Maksudnya adalah para sahabat secara tidak langsung mendengar, melihat atau menyaksikan tentang apa yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Namun mereka mendapatkan pengetahuannya dari para sahabat yang lain yang melihat, mendengar serta menyaksikannya. Sahabat ada yang membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi, yaitu sahabat Umar. Kata Umar bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui nabi dan menerima hadis, maka dia dengan segera menyampaikan berita itu kepada sahabat yang tidak bertugas. Dengan demikian, sahabat yang tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga memperoleh hadis.
Al Bara’ bin ‘Azib al- Awsiy telah menyatakan, “ Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rosulullah SAW, karena di antara kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu, orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan terhadap hadis Nabi SAW. Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis nabi) memberitakan hadis itu kepada orang-orang yang tidak hadir. (diriwayatkan oleh al-Ramahhurmuziy dan al-Hakim dari al-Bara’ bin ‘azib al-Awsiy.
D. Periwayatan hadis pada zaman Nabi SAW.
Para sahabat pada umumnya berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Malik bin al-Huwayris menyatakan Saya ( Malik bin al-Huwayris), dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, beliau bersabda: “ Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka dan lakukan sholat bersama. Bila telah masuk waktu sholat, hendaklah salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam”. ( HR. Al Bukhori dari Malik al- Huwayris)
Hadis Nabi yang telah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada yang dicatat. Sahabat yang banyak menghafal misalnya, Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis misalnya, Abu Bakar as-Shiddiq, ‘Ali bin Abi Tholib, ‘Abd Allah bin ‘Amr bin ‘Ash, dan ‘Abd Allah bin Abbas.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada masa Rosulullah berjalan dengan lancar. Hal ini karena dua hal, cara Nabi menyampaikan hadis dan minat yang besar dari para sahabat.
E. Periwayatan hadis pada zaman sahabat Nabi SAW.
Setelah Nabi wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada ditangan sahabat nabi. Diantara para sahabat yang terkenal adalah ‘Aisyah istri Nabi, Abu Hurairoh, ‘Abd Allah bin Abbas, ‘Abd Allah bin Umar, dan Ja’far bin ‘Abd Allah.
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol dikalangan umat Islam. Hal ini dapat di mengerti, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai macam kekacauan dan ancaman yang membahayakan pemerintahan. Dalam hal itu tidak sedikit sahabat yang hafal Al- Quran telah gugur diberbagai peperangan. Atas desakan Umar bin Khathab, Abu Bakar segera melakukan penghimpunan al-Quran. Sehingga kegiatan periwayatan hadis pada masa ini sangat terbatas. Walaupun demikian, dapat dikemukakan bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadis tampak tidak jauh berbeda dengan sikap kholifah Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati.
Bukti sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis, terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Aisyah, putrinya menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia kawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis.
Sikap kehati-hatian juga ditunjukan oleh Umar bin Khathab, ia juga selalu meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Sikap Abu Bakar dan Umar juga diikuti oleh Usman dan Ali bin Abi Thalib, selain dengan cara tersebut, Ali juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
Selain Khulafaur Rosyidin, sahabat Nabi telah menunjukan juga sikap hati-hati mereka dalam meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat misalnya,
a. Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya ia tidak takut keliru niscaya apa yang telah didengarnya dari Nabi SAW. Dikemukakan juga kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada para sahabat lain atau kepada tabi’in.Beliau berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadis.
b. Sa’ad bin Abi Waqqash (wafat 55 H/ 675M) pernah ditemani oleh al-Sa’id bin Yazid dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Said. Apa yang telah dilakukan oleh Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadis.
Kehati-hatian dalam periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode Khulafaur Rosyidin tidak lagi menjadi ciri yang menonjol, walaupun harus segera dinyatakan bahwa periwayat hadis yang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis tidak sedikit jumlahnya. Ini berarti tidaklah setiap periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya. Karenanya untuk memperoleh riwayat hadis yang matannya sahih, terlebih dahulu diperlukan penelitian yang mendalam, bukan hanya terhadap matannya saja, melainkan juga kepada pribadi dan rangkaian para periwayatnya.
Pada zaman sesudah sahabat Nabi, hadis telah dibukukan dan hal ini menunjukan upaya ulama untuk melindungi hadis Nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadis. Bagian hadis yang mereka kaji dan dalami tidak hanya matannya saja, namun juga nama-nama periwayat dan susunan sanad-nya. Rangkaian para periwayat dari generasi at-thabiin lebih panjang dibandingkan dengan rangkaian periwayat pada zaman sahabat Nabi.
F. Tata cara periwayatan hadis.
Pada umumnya ulama membagi tata cara penerimaan hadis menjadi delapan macam , yaitu;
1. As-Sima’
Yakni dengan cara mendengarkan perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan maupun cara lainnya, baik dari hafalannya maupun dari catatannya. Hanya Syu’bah bin al-halaj yang tidak menerima riwayat orang yang hanya mendengar dari suara, tanpa melihat wujud si pembicara,lantaran barangkali suara itu dianggap sebagai suara syaitan. Tapi jaman dulu para sahabat rosullah menerima hadits dari istri-istri beliau melaluli belakang tabir.Istilah yang dipakai dalam cara as sima’ beragam, diantaranya;
سمعت، حدثنا، حدثني، اخبرنا، قا ل لنا، ذكرلنا
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, Menurut al Khathib al Baghdadiy kata yang tertinggi adalah سمعت, kemudian حدثنا dan حدثني،. Alasannya kata سمعت menunjukkan kepastian periwayat mendengar langsung hadist yang driwayatkannya. Sedang dua macam kata yang disebutkan terakhir masih bersifat umum, ada kemungkinan periwayat yang bersangkutan tidak mendengar langsung.
2. Al Qiro’ah Ala As-Syaikh atau di sebut juga dengan Al-Arad
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain. Sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak, tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadist yang diriwayatkan, maka cara al qira’ah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara as sama’. Karena dalam cara al qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh guru hadis selaku penerima riwayat.
3. Al-Ijazah
Al-Ijazah yaitu dengan cara guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya. Pemberian izin dinyatakan dengan lisan maupun dengan tertulis.
4. Al-Munawalah
Yaitu seseorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa al- munawalah adalah dengan cara seorang guru memberi kepada muridnya sebuah kitab asli yang didengar dari gurunya, atau suatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata, “Inilah hadis-hadis yang sudah aku dengarkan dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis ini dariku dan aku ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. Mayoritas ulama memakai kata-kata حدثنا اجا زة atau حدثنا اذن atau اجا زلي
5. Al- Mukatabah
Yaitu seseorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya untuk diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan mengirimkan surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya. Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan seperti ini biasanya كتب علي فلا نatau اخبرني به مكا تبةatau
اخبرني به كتا
6. Al-Ilam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadis atau kitab yang diriwayatkan, dia terima dari seseorang tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis tersebut atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkannya.
7. Al-Wasiyah
Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya apabila ia meninggal atau bepergian. Periwayatan hadis seperti ini oleh jumhur dianggap lemah. Kata-kata yang digunakan biasanya اوصي الي atau kata-kata yang semakna dengannya.
8. Al-Wajadah
Yakni seseorang memperoleh hadis nabi dari orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara as-sima’, ijazah, atau al munawalah.
G. Persyaratan periwayat
Persyaratan periwayat dengan kesaksian hampir sama, namun juga ada perbedaannya. Menurut Syuhudi Ismail mempunyai beberapa perbedaan. Umumnya berkisar enam masalah:
1. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedang saksi haruslah hanya orang yang bersetatus merdeka saja.
2. Periwayat, untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkannya, dapat berjenis laki-laki ataupun perempuan, sedangkan saksi, untuk peristiwa-peristiwa tertentu, harus laki-laki.
3. Periwayat boleh orang yang buta matanya, asalkan pendengarannya baik, sedang saksi tidak diperkenankan bermata buta.
4. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan saksi tidak sah bila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian perkaranya.
5. Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu orang.
Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedangkan saksi dengan orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh terdapat permusuhan.
H. Periwayatan Hadist dengan Lafazh
Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa faktor yang memberi peluang bagi para perawi untuk meriwayatkan sabda Nabi dengan secara lafazh yaitu:
1) Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot. Dimana bahasa (dialek) Nabi menyesuaikan kemampuan intelektual dan latar belakang orang yang mendengar seperti contoh. Ketika Ashim al-Asy’ari (suku al-Asy’ari) bertanya kepada Nabi tentang hukum orang yang berpuasa dalam perjalanan, Nabi menjawab. "ليس من ام بر ام صيام في ام سفر" dalam riwayat lain Nabi menyampaikan sabda yang sama dengan dialek yang baku (fushhah) "ليس من البر الصيام في السفر",
2) Orang-orang Arab sejak dahulu hingga sekarang dikenal sangat kuat hafalannya, bahkan kalangan sahabat Nabi ada yang terkenal dengan kesungguh-sungguhannya menghafal hadits seperti Abd Allah bin Umar bin Khatab.
3) Untuk sabda-sabda tertentu Nabi menyampaikannya dengan diulang-ulang. Tidak jarang pula diterangkan dengan rinci masalah yang diterangkannya.
4) Tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami’ al-Kalim, yakni ungkapan pendek tetapi sarat makna Misalnya. "الحرب خدعه"
H. Periwayatan Hadits Dengan Makna
Faktor yang mendukung adanya hadits Nabi yang diriwayatkan secara lafazh oleh para ulam ahli hadits, hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda. Sedang hadits Nabi yang berupa perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna. Hadits yang dalam bentuk sabda pun terkadang sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafazh. Kesulitan periwayatan secara lafazh disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafalkan secara lafazh karena kemampuan hapalan dan tingkat kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut istilah ilmu hadist, yang dimaksud dengan al riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Ada tiga unsur yang harus di penuhi dalam periwayatan hadist, yaitu; (1) kegiatan menerima hadist dari periwayat hadist; (2) Kegiatan menyampaikan hadist itu kepada orang lain; (3) Ketika hadist itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Ada empat syarat sahnya pribadi periwayat hadis, yaitu pelakunya haruslah, beragama Islam, berstatus Mukallaf, bersifat Adil, bersifat Dhabith. Cara Nabi menyampaikan hadisnya dalam berbagai peristiwa, pada majelis-majelis Rosulullah, pada peristiwa yang Rosulullah mengalaminya, kemudian beliau menerangkan hukumnya. Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, kemudian menanyakan hukumnya kepada Rosulullah, Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh Para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rosulullah. Cara-cara yang dialami para sahabat dalam menerima hadis dapat Secara langsung dari Nabi Muhammad SAW, dan secara tidak langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Periwayatan hadis pada masa Rosulullah berjalan dengan lancar. Hal ini karena dua hal, cara Nabi menyampaikan hadis dan minat yang besar dari para sahabat. Para sahabat Nabi sangat berhati-hati dalam periwayatan hadist, seperti khulafaur rosyidin, serta sahabat setelahnya. Tata cara periwayatan hadis, yaitu; As-Sima’, Al Qiro’ah Ala As-Syaikh atau di sebut juga dengan Al-Arad, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al- Mukatabah, Al-Ilam, Al-Wasiyah, dan Al-Wajadah.
Persyaratan periwayat dengan kesaksian hampir sama, namun juga ada perbedaannya. Periwayatan hadist ada dua yaitu periwayatan hadist dengan lafad dan periwayatan hadist dengan makna.

Umar bin Khatthab

Sering orang melakukan suatu pekerjaan yang kurang efektif dan tidak memikikan manfaatnya, karena mereka hanyalah sebagai kebiasaan , seperti tiap satu pekan sekali mengadakan perjalanan yang hanya untuk mencari kesibukan biasa, tanpa memikirkan dampak positif darinya.
Banyak orang ingin mengubah kehidupannya dengan mencari pekerjaan, membuat tempat tinggal atau dengan memoles penampilan fisik. Apabila seseorang tersebut memang memiliki niat yang bulat untuk mencari apa yang diinginkan, maka suatu ketika pasti akan diperolehnya.
Tapi akan anda dapati seseorang yang lebih keras namun ia bertekad untuk mengubah keyakinannya. Pandangannya terhadap nenek moyang akan terbalik. Perasaannya terhadap keluarganya juga akan berbeda, dari sebelum keyakinan baru yang diperolehnya. Untuk mendapatkan gambaran seperti ini, kita dapat melihat contoh dari kejadian-kejadian yang dialami oleh sahabat Umar bin Khathab.
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama Khathab dan ibunya bernama Hantamah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan. Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam Islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya adalah Umar bin Khathab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah.
Umar bin Khathab memilki simpati terhadap Islam, meskipun ia belum beragama Islam. Hal ini ditunjukan olehnya ketika Umi Abdullah bersama suaminya hendak hijrah, mereka berdua sangat takut ketika dipergoki Umar. Namun sebaliknya, pada diri Umar, berkata,” Semoga Allah melindungimu”, sungguh kata Umar tersebut sangat mengejutkan Umi Abdullah dan suaminya. Setelah mendengar Umar, Umi Abdollah yakin bahwa suatu saat Umar pasti masuk Islam.
“ Umar tidak akan masuk Islam, sebelum keledai Khathab mendahuluinya”. Jawaban suami Umi Abdullah terhadap istrinya. Namun terbuktilah pada suatu saat Umar memeluk Islam dengan gagap gempita. Salah satu cerita tentang Umar adalah sebagai berikut,
“ Umar pernah mengisahkan dirinya sebagai berikut, “ Kala itu aku masih jauh dari Islam. Menjadi pemabuk dan suka berkumpul disuatu tempat dengan para tokoh Quraisy. Suatu hari aku ingin menemui kawan-kawan, tetapi tak seorangpun aku temui. Dari pada terus menerus kecewa, karena tidak bertemu dengan mereka, maka lebih baik aku berthowaf tujuh atau tujuh puluh kali. Langkahku pun menuju ke masjid, tak kusangka di sana ada Rosulullah sedang sholat menghadap ke Syam. Beliau mengambil tempat di antara dua rukun (sudut), rukun hajar aswad dan rukun Yamani. Aku berkata pada diriku sendiri, “ Demi Allah aku ingin mendengarkan apa yang diucapkan Muhammad pada malam hari ini”. Agar bisa mendengar aku mendekat kepadanya, hingga saya menempelkan tubuh ke hajar aswad, dan bersembunyi di dalam tutup ka’bah. Begitu aku mendengar ayat Alqur’an, hatiku menjadi lemah, bahkan menangis, teresapi getar kekuatan Islam”.
Sedang cerita yang serupa juga di ceritakan oleh Ibnu Ishak dalam sirah rosulullahnya, demikian; “ Umar suatu kali keluar sambil membawa pedang terhunus, niatnya adalah mencari Rosulullah dan para sahabatnya yang sedang berkumpul di salah satu rumah di Sofa. Kira-kira jumlah mereka 40 orang, terdiri dari pria dan wanita. Diantara mereka terdapat Hamzah, paman Rosul, Abu Bakr asshidiq, dan Ali bin Abi Tholib.
Dalam perjalanan mencari mereka, Umar berpapasan dengan Nuaim bin Abdillah.
“Mau kemana kau Umar?” Sapa Nuaim.
“Aku mau mencari Muhammad yang telah memecah belah persatuan kita, mengacaukan ketentraman Quraisy dan mencela agama nenek moyang. Aku ingin membunuhnya”. Jawab Umar geram.
“ Demi Allah kau sangat sombong Umar. Apakah kiranya Bani Abdi Manaf akan membiarkan kau berjalan di atas bumi setelah kau berhasil membunuh Muhammad? Apakah tidak lebih baik kau tangani dulu keluargamu?”.
“Keluargaku? Ada apa dengan mereka?”. Tanya Umar.
“ Adikmu Fatimah dan suaminya telah menjadi pengikut Muhammad. Lebih adil kau habisi mereka dulu”. Jelas Nuaim.
Mendengar kabar ini bergegaslah Umar menuju rumah Fatimah. Disana ada Said suaminya, Fatimah dan Khabab kawannya.
“Suara apa yang aku dengar barusan? “. Tanya Umar kepada Fatimah dan Said. Saat itu ada Khabbab bersembunyi di salah satu ruangan.
“ Tidak ada sesuatu apapun” Jawab Fatimah berbohong demi keselamatan diri.
“Demi Allah aku telah di beri tahu bahwa kalian telah memeluk agama Muhammad”. Sangkal Umar sambil menampar muka Said. Terjadi pergulatan di antara mereka, hingga Fatimah merasa harus melerai. Mereka berusaha melindungi suaminya dari amukan Umar. Tanpa di sangka-sangka kepalan Umar melayang ke wajah Fatimah hingga berdarah. Geramlah Fatimah lalu berkata tegas,
“ Benar wahai Umar. Kami telah memeluk Islam, beriman kepada Allah dan Rosulnya. Sekarang kau boleh berbuat apa saja terhadap kami”.
Begitu Umar melihat darah bersimbah di wajah adiknya, ia sangat menyesal dan akhirnya muncullah kesadarannya.
“Serahkan lembar-lembar itu kepadaku. Aku ingin membaca apa yang telah diajarkan Muhammad”. Pinta Umar kepada Fatimah dengan suara yang lunak. Umar membaca surat Thoha. Setelah itu tiba-tiba secara drastis, suara dan sikapnya berubah, ia berkata,
“Alangkah indahnya kata-kata ini, dan begitu agung”.
Mendengar itu Khabbab keluar dari persembunyiannya, lalu berkata,
” Demi Allah, Allah telah memilih engkau dari doa Rosulullah yang di panjatkan kemarin, Allahumma jayakan Islam dengan salah satu dari dua orang, Abal Hakam atau Umar bin Khathab. Segeralah engkau menghadap beliau wahai Umar”. Umar pun menyetujui.
Memang ada beberapa cerita tentang masuknya Umar ke agama Islam, namun cerita-cerita tersebut saling berhubungan.
2. Di angkatnya Umar menjadi kholifah.
Seperti yang telah kita ketahui Umar merupakan kholifah kedua dari Khulafaurrosyidin. Sebelum Abu Bakar meninggal pada tahun 634 M/ 13 H, beliau telah menunjuk Umar sebagai penggantinya. Abu Bakar menunjuk Umar ini tidak hanya sekedar memilih, namun penunjukan kholifah dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkan pada ummah waktu itu. Dalam penunjukan tersebut tidak ada ikatan sama sekali antara Abu Bakar dengan Ummah. Bisa saja Ummah menolak Umar menjadi kholifah jika mereka mau.
Abu Bakar menunjuk Umar ketika beliau sakit, hal ini dilakukannya karena Abu Bakar tidak mau kalau ada perselisihan serta perpecahan antar masyarakat Islam jika tidak dikondisikan, seperti yang terjadi ketika Rosulullah SAW wafat. Masyarakat ada yang setuju jika Umar menjadi kholifah, namun juga ada yang tidak setuju. Masyarakat yang setuju, karena Umar adalah orang yang memiliki kemampuan yang telah terbukti, yaitu ketika Abu Bakar akan menjadi kholifah, ia mengarahkan penduduk untuk menerima Abu Bakar sebagai kholifahnya.
Masyarakat yang tidak setuju memiliki alasan bahwa Umar adalah orang yang pemarah (mudah marah). Salah satu orang yang tidak setuju adalah Thalhah, ia telah menunjukan keberatannya kepada Abu Bakar, mengapa ia memilih Umar sebagai penggantinya, padahal ia tahu kalau Umar cepat marah.
Umar menamai dirinya sendiri sebagai kholifah kholifati Rosul, karena ia merupakan pengganti dari kholifah Abu Bakar yang menjadi pengganti dari Rosulullah. Selain itu ia juga memperkenalkan istilah Amirul Mukminin yang berarti komandan orang-orang yang beriman.
3. Perluasan wilayah oleh Umar bin Khathab
Abu Bakar menjadi kholifah hanya dua tahun (632-634M). Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab, yang tidak mau tunduk lagi kepada pemimpin Madinah. Di zaman Umar merupakan gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama yang terjadi.
Umar memperluas daerah kekuasaanya di daerah Byzantim. Dalam peperangan menyerang daerah ini bangsa Arab dipimpin oleh Abu Ubaidah. Ketika umat Islam memperoleh kemenangan di Ajnadain (634 M/ 13H) yang di pimpin oleh Kholid bin Walid, setelah itu umat Islam melanjutkan perluasan ke Palestina, yaitu daerah Byzantium. Dalam peristiwa tersebut ada tokoh riddah yang terkenal yaitu Qais bin al Maksuh al Muradi yang berada di Palestina. Sehingga Umar bin Khathab memilih Abu Ubaidah untuk menjadi pemimpin tersebut. Bukanlah merupakan permusuhan antara Umar bin Khathab dengan Kholid bin Walid, namun hal ini dilakukannya karena Umar menganggap bahwa Abu Ubaidah adalah orang yang tepat.
Pergantian pemimpin ini juga menjadi kehendak Kholid bin Walid, karena di Byzantium terdapat Qais bin al Makhsuh yang mana bisa bekerja sama dengan lebih baik dengan Abu Ubaidah tersebut. Sehingga Kholid bin Walid melanjutkan tugasnya di bawah pemimpin Abu Ubaidah.
Tugas Kholid bin Walid selanjutnya sebagai koordinator di bawah panglima Abu Ubaidah, sehingga ia bisa melakukan pukulan berkali-kali sampai jauh memasuki Syiria. Ketika Byzantium ingin melakukan serangan besar-besaran terhadap bangsa Arab, Abu Ubaidah mampu meghadapi mereka dengan kekuatan penuh dalam pertempuran Yarmuk (637 M/16 H). Pasukan Arab memperoleh kemenangan yang menyebabkan Byzantium menyerahkan Syiria sama sekali, sehingga dalam penaklukan seluruh Syiria terlaksana tanpa banyak kesulitan.
Bersama dengan adanya peperangan di Byzantium, terjadi perluasan juga di wilayah Sasaniyah (Iran). Dalam menangani perluasan di Sasaniyah ini, Saad bin Abi Waqqos di tunjuk menjadi komandannya. Dia berangkat dari Madinah memimpin pasukan sekitar 2000 orang dari anggota suku-suku, separo diantaranya adalah orang Yaman, yang secara cepat menanggapi panggilan tugas dari Umar. Dalam perjalanan ia mengangkat sekurang-kurangnya 7000 orang yang akhirnya dalam pasukan tersebut terdapat mantan-mantan pemberontak, seperti Tulaihah al Asadi, yaitu mantan Nabi palsu.
Dalam situasi ini bangsa Arab mengalami kemenangan, karena bangsa Sasaniyah tidak terlalu menghiraukan serangan dari bangsa Arab tersebut. Sehingga ketika Sasaniyah baru mau mengerahkan tenaga untuk menghadapi bangsa Arab, bangsa Arab telah melakukan serangan secara mendadak ke dalam wilayah-wilayah Sasaniyah dan akhirnya Sasaniyah mengalami kekalahan. Karena semangat bangsa Arab meningkat sedangkan bangsa Sasaniyah masih dalam persiapan. Sehingga kemenangan besar di peroleh oleh bangsa Arab dalam peperangan Qadisiyah (637 M/ 16 H). Itulah peristiwa pertama yang menandai kekalahan kerajaan Sasaniyah oleh bangsa Islam.
Ketika kholifah Umar berada di Damaskus, Amr bin Ash meminta izin padanya untuk melakukan ekspedisi ke Mesir. Dan Umar akhirnya mengizinkannya dan memberinya pasukan sekitar 3500 hingga 4000 orang. Diriwayatkan bahwa setelah ekspedisi Amr tersebut, Umar mencabut dukungannya dan memberi tahu Amr, jika saja ia belum sampai masuk ke Mesir, ia harus pulang, namun Amr telah memasuki Mesir. Perbuatan tersebut tidak dapat di artikan jika Amr tidak mengikuti perintah kholifah, namun inilah cara yang digunakan untuk mengembangkan kekuatan agama Islam. Umar dalam hal ini juga menghargai Amr, dia menanggapi Amr dengan mengirimkan bantuan kepadanya sekurang-kurangnya 8000 orang di bawah pimpinan tokoh quraisy, Az Zubair bin Awwam. Ciri dari kedua pasukan ini adalah tidak ada dari seorang anggota yang berasal dari suku-suku yang terlibat dalam peperangan riddah.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Umar bin Khathab salah satu dari keempat khulafaur Rosyidin. Dia merupakan kholifah yang sangat di takutkan oleh penduduk, karena dia suka membawa tongkat yang ditakuti para penduduk. Umar masuk Islam dengan peristiwa yang sangat menakjubkan, mulanya ia akan membunuh Nabi Muhammad, namun akhirnya ia tambah menemui Nabi dan menyatakan Islam kepadanya.
Ketika Umar ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menjadi penggantinya setelah ia meninggal, ada masyarakat yang tidak suka dengan keinginan Abu Bakar ini, karena Umar adalah orang yang suka marah. Namun ada juga masyarakat yang bisa menerima Umar, karena mereka menganggap bahwa Umarlah orang yang pantas menjadi kholifah setelah Abu Bakar. Mereka beralasan bahwa Umar telah dengan tegas menyuruh masyarakat untuk memilih Abu Bakar ketika Nabi telah meninggal. Nah dengan kelakuan Umar inilah orang menganggap bahwa Umar adalah orang pemberani dan pantas memimpin.
Dalam upaya memperluas kekuasaan, Umar selalu menunjuk komando yang menurutnya tepat untuk menjadi komando dalam peperangan. Pada masa Umar Islam mengalami perluasan hingga di Iran, Mesir, serta di Palestina.