Sabtu, 02 April 2011

Metode tafsir Al qur'an

Kata metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau jalan . Didalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Alquran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
Apabila seseorang menafsirkan Alquran tanpa menggunakan metode-metode tafsir atau tidak melakukan alur-alur yang ditetapkan dalam metode tafsir maka tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut dengan bi al ra’y al mahdh ( tafsir berdasarkan pemikiran semata ) dan metode seperti ini dilarang oleh Nabi.
Istilah tafsir merujuk pada Alquran surat Al Furqon ayat 33, yang artinya, “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan sesuatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”.
Tafsir menurut Ibnu Manzhur adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Dalam kamus bahasa Indonesia tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran. keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar untuk dipahami dari ayat-ayat Alquran.
Dengan demikian menafsirkan Alquran berarti memberi keterangan serta penjelasan tentang makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Objek kajiannya adalah kalamullah, yang merupakan sumber segala hikmah. Tujuan utamanya untuk berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan demikian pengertian metodologi tafsir dengan metode tafsir adalah berbeda. Metode tafsir yaitu cara menafsirkan Alquran, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara-cara tersebut.

B. Perkembangan Tafsir
Periode pertama dari perkembangan tafsir adalah dimulai dari Rosulullah, sahabat dan tabiin. Pada masa Rosulullah para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang dialaminya kepada Rosulullah, maka setelah wafatnya beliau mereka terpaksa harus mencari jawaban-jawabannya sendiri dengan jalan ijtihad. Khususnya mereka yang mampu seperti Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, dan sebagainya dengan berdasar kepada Alquran dan Alhadist. Dengan demikian mereka menerangkan dan menjelaskan maksud-maksud dari ayat-ayat Alquran.
Para tokoh tafsir pada masa itu diantaranya Abdullah bin Salam, Ka’ab al Akbar, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan sebagainya. Disamping itu para sahabat yang disebutkan diatas memiliki murid-murid yang dari kalangan tabi’in, sehingga muncullah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Mekkah yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. Kemudian Muhammad bin Ka’ab Zaid bin Aslam di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab.
Serta Hasan al Bashry, Amir al Syakbi di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari tiga sumber diatas yaitu penafsiran Rosul, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran Tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok dinamai Tafsir bi al Ma’tsur. Pada abad ketiga Hijriyah masa salaf berakhir, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka aliran-aliran atau madzhab dikalangan umat Islam juga berkembang. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan umat Islam dalam mengembangkan aliran-alirannya. Untuk mencari itu mereka mencari ayat-ayat Alquran dan al hadist dan mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang tafsir bi al ra’y yaitu tafsir melalui pemikiran-pemikiran atau ijtihad kaum fuqoha.
1. Tafsir bi al ma’tsur (periwayatan)
Pada dasarnya penafsiran sahabat-sahabat nabi, merujuk pada penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Setelah masa sahabat, para tabi’in dan atba’ tabi’in masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Metode ini memiliki keistimewaan serta kekurangan. Beberapa keistimewaannya yaitu,
a. Menekankan kepentingan bahasa dalam memahami Alquran.
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Disisi lain kekurangan dari tafsir itu adalah,
a. Terjerumusnya para mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesesustraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur dicelah
uraian itu.
b. Sering kali konteks turunnya ayat (uraian asbab al nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Imam Al Zarqoni enggan memasukan penafsiran tabi’in kedalam al ma’tsur, karena banyak dari tabi’in yang terlalu terpengaruh oleh riwayat-riwayat Isro’iliyat yang berasal dari kaum Yahudi, dan ahli kitab lainnya. Seperti terlihat pada kisah para nabi, penciptaan alam, ashab alkahfi dan sebagainya. Sedangkan ulama lain seperti al Dzarhabi, memasukkan tafsir tabi’in kedalam al ma’tsur, karena menurut pendapatnya meskipun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari nabi namun, kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur memuat tafsir mereka. Seperti tafsir at Thobari, tidak hanya berisi tafsiran dari nabi dan sahabat, namun juga memuat tafsiran dari tabi’in.
2. Tafsir bi al ra’y
Tafsir ini dimulai ketika berakhirnya masa salaf, dan berkembang sangat pesat. Namun dalam menerimanya ulama terbagi dua, ada yang membolehkan dan ada yang menerimanya. Tapi setelah diteliti kedua pendapat yang bertentangan tersebut hanya berrsifat lafdzi. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’y (pemikiran) semata ( hawa nafsu ) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya mereka membolehkan penafsiran dengan ijtihad, yang berdasarkan Alquran dan Alhadist, serta kaidah-kaidah yang diakui sah secara bersama.
Jadi jelaslah kalau perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah

melalui dua jalur, yaitu al ma’tsur, dan al ra’y. Dengan demikian dikatakan bahwa al ma’tsur dan al ra’y merupakan jenis tafsir, bukan metode atau corak tafsir.

C. Perkembangan metode tafsir
Sebenarnya tidak dijumpai dikalangan ulama salaf kitab yang membahas tentang metode tafsir secara khusus, namun bisa dikatakan metode tafsir lahir sejalan dengan lahirnya tafsir, namun pada masa itu belum dimulai pembukuan ilmu-ilmu Islam, termasuk metode tafsir apalagi mengajinya secara ilmiah. Karena para sahabat menyaksikan dan mengalami langsung situasi dan kondisi ketika wahyu diturunkan. Selain itu mereka menguasai ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan Alquran. Seperti bahasa arab, balaghot, sastra, dan sebagainya. Semua itu bisa membantu mereka dalam menafsirkan Alquran secara benar dan utuh, oleh karena itu mereka tidak membutuhkan kajian khusus mengenai metodologi tafsir, namun bukan berarti mereka menafsirkan Alquran tanpa metode, malah sebaliknya metode yang diterapkan oleh generasi pertama itulah yang dikembangkan para mufasir yang datang kemudian. Ada beberapa macam metode yaitu,
1. Metode komparatif
Metode komparatif adalah metode yang penafsiran Alquran yang didalamnya membahas tiga aspek,
a. Perbandingan ayat dengan ayat, yaitu membandingkan teks ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam dalam satu kasus yang sama.
b. Perbandingan ayat dengan hadist, yaitu membandingkan ayat Alquran dengan Hadist yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
c. Perbandingan berbagai pendapat mufasir, yaitu membandingkan bermacam-macam pendapat para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Perbandingan adalah ciri utama metode komparatif. Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadist ialah pendapat dari para ulama, bahkan dalam aspek ketiga pendapat ulama tafsir itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh karena itu jika penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak bisa disebut metode komparatif.
2. Metode Global (Manhaj Ijmali)
Yang dimaksud dengan metode global adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran secara ringkas dan padat, tapi mencakup, didalam bahasa yang jelas dan populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya memenuhi susunan ayat-ayat didalam mushaf. Disamping itu pengajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari bahasa Alquran, sehingga pembaca dan pendengar seakan-akan masih tetap mendengar Alquran, padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Contoh kitab tafsir Jalalaini yang dikarang oleh Al Mahalli dan As Suyuti, Tafsir Alquranul karim karangan Muhammad Farid Wajdi dan sebagainya.
3. Metode Analisis (Manhaj Tahlili)
Metode Analisis adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan sebagai aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam Alquran ayat
demi ayat, surat demi surat, sesuai urutannya dalam mushaf.
Penafsiran metode ini diwarnai dengan kecenderungan dan keahlian si mufasir. Metode ini dapat mengambil bentuk al ma’tsur, karena penguraiannya menyangkut berbagai pendapat yang disampaikan oleh nabi, sahabat, maupun para tabi’in dan tokoh tafsir lainnya. Kitab tafsir yang termasuk kelompok al ma’tsur dengan menggunakan metode ini adalah Tafsir at Thobari karangan Ibnu Jarir, At Thobari ma’alim al Tanzil karangan al Baghowi, dan lain-lain. Sedangkan kitab tafsir bi al ra’y yang menggunakan metode ini yaitu Tafsir al khazin karangan al Khazin, Tafsir Alquran al ‘Adzhim karangan al Tustari dan sebagainya. Metode analisis menerangkan asbab al nuzul, munasabat (kolerasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya) dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan seperti kosakata, susunan kalimat, dan sebagainya.
4. Metode Tematik (Manhaj Mawdhu’i)
Metode ini membahas tentang ayat-ayat Alquran sesuai dengan tema yang ditentukan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dihimpun . Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspek seperti, asbab al nuzul, kosakata, istinbath (penetapan hukum), dan lain-lain. Semua itu dijelaskan secara tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta (kalau ada) yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari Alquran dan Hadist, maupun pemikiran rasional. Contoh kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah al Insan fi Alquran dan al Mar’at al ‘Aqqad, Ar Riba’ fi alquran oleh al Mawdudi dan kitab-kitab tafsir yang lain.



BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran jadi tafsir Alquran adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar untuk dipahami dari ayat-ayat Alquran.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan demikian pengertian metodologi tafsir dengan metode tafsir adalah berbeda. Gabungan dari tiga sumber yaitu penafsiran Rosul, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran Tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok dinamai Tafsir bi al Ma’tsur.
Pada abad ketiga Hijriyah masa salaf berakhir, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka aliran-aliran atau madzhab dikalangan umat Islam juga berkembang. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan umat Islam dalam mengembangkan aliran-alirannya. Untuk mencari itu mereka mencari ayat-ayat Alquran dan al hadist dan mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang tafsir bi al ra’y yaitu tafsir melalui pemikiran-pemikiran atau ijtihad kaum fuqoha.
Ada beberapa macam metode yaitu, metode komparatif, Metode Global (Manhaj Ijmali), Metode Analisis (Manhaj Tahlili), Metode Tematik (Manhaj Mawdhu’i).


DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashrudin. 2002. Metode Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M Quraish. 1994.Membumikan Alquran. Bandung: Khazanah Ilmu-ilmu Islam.
Al Qattan, Manna’ Kholil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Alquran. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa.
Syadali Ahmad. 2006. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar