Kamis, 14 April 2011

Do'aku

Semilirnya angin
Tak bisa merubahku

Ku rasakan
Namun hanya begitu,,,
Tanpa ada kelebihan

Ketika ku letakkan kulit ini
Ku merasa berbeda
Ku lebih tenang
Berada di kesunyiaan,,

Akankah aku bisa selamanya
Tuk selalu melakukannya?
Jika suatu saat ku terlupa
Tolong ingatkanlah saya

Ya Allah aku yakin
Kau pasti mengabulkan
Semua permintaan hambaMu
Kabulkanlah,,,
Semoga nurani ini
Selalu mengingatMu,,

Selasa, 12 April 2011

Penghilang ngantuk

Ketika aku masuk kuliah pada hari senin kemarin, ada sesuatu yang dapat saya peroleh. Ini dari seorang dosenku yaitu Pak Khodaffi. Beliau bertanya " Mengapa kamu suka ngantuk?". Banyak sekali jawaban yang dikeluarkan oleh teman-teman. Kemudian beliau memberi tahu caranya biar tidak merasa ngantuk. Beliau berkata, " Kalu belajar usahakan disampingmu ada air terus, supaya kamu bisa minum dan krupuk juga, karena dengan adanya makanan itu kamu nanti bisa haus dan akhirnya kamu minum serta gak ngantuk". Setelah saya mendengar itu, saya merasa senang, karena tak sengaja saya mengetahui bagaimana caranya agar tidak mudah ngantuk. Mungkin hal tersebut bisa kita praktekan bersama. Bila kita ngantuk cobalah untuk minum, agar tidak ngantuk kembali.

Sabtu, 02 April 2011

Metode tafsir Al qur'an

Kata metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau jalan . Didalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Alquran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
Apabila seseorang menafsirkan Alquran tanpa menggunakan metode-metode tafsir atau tidak melakukan alur-alur yang ditetapkan dalam metode tafsir maka tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut dengan bi al ra’y al mahdh ( tafsir berdasarkan pemikiran semata ) dan metode seperti ini dilarang oleh Nabi.
Istilah tafsir merujuk pada Alquran surat Al Furqon ayat 33, yang artinya, “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datangkan sesuatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”.
Tafsir menurut Ibnu Manzhur adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Dalam kamus bahasa Indonesia tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran. keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar untuk dipahami dari ayat-ayat Alquran.
Dengan demikian menafsirkan Alquran berarti memberi keterangan serta penjelasan tentang makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Objek kajiannya adalah kalamullah, yang merupakan sumber segala hikmah. Tujuan utamanya untuk berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan demikian pengertian metodologi tafsir dengan metode tafsir adalah berbeda. Metode tafsir yaitu cara menafsirkan Alquran, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara-cara tersebut.

B. Perkembangan Tafsir
Periode pertama dari perkembangan tafsir adalah dimulai dari Rosulullah, sahabat dan tabiin. Pada masa Rosulullah para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang dialaminya kepada Rosulullah, maka setelah wafatnya beliau mereka terpaksa harus mencari jawaban-jawabannya sendiri dengan jalan ijtihad. Khususnya mereka yang mampu seperti Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, dan sebagainya dengan berdasar kepada Alquran dan Alhadist. Dengan demikian mereka menerangkan dan menjelaskan maksud-maksud dari ayat-ayat Alquran.
Para tokoh tafsir pada masa itu diantaranya Abdullah bin Salam, Ka’ab al Akbar, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan sebagainya. Disamping itu para sahabat yang disebutkan diatas memiliki murid-murid yang dari kalangan tabi’in, sehingga muncullah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Mekkah yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. Kemudian Muhammad bin Ka’ab Zaid bin Aslam di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab.
Serta Hasan al Bashry, Amir al Syakbi di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari tiga sumber diatas yaitu penafsiran Rosul, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran Tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok dinamai Tafsir bi al Ma’tsur. Pada abad ketiga Hijriyah masa salaf berakhir, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka aliran-aliran atau madzhab dikalangan umat Islam juga berkembang. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan umat Islam dalam mengembangkan aliran-alirannya. Untuk mencari itu mereka mencari ayat-ayat Alquran dan al hadist dan mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang tafsir bi al ra’y yaitu tafsir melalui pemikiran-pemikiran atau ijtihad kaum fuqoha.
1. Tafsir bi al ma’tsur (periwayatan)
Pada dasarnya penafsiran sahabat-sahabat nabi, merujuk pada penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Setelah masa sahabat, para tabi’in dan atba’ tabi’in masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Metode ini memiliki keistimewaan serta kekurangan. Beberapa keistimewaannya yaitu,
a. Menekankan kepentingan bahasa dalam memahami Alquran.
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Disisi lain kekurangan dari tafsir itu adalah,
a. Terjerumusnya para mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesesustraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur dicelah
uraian itu.
b. Sering kali konteks turunnya ayat (uraian asbab al nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Imam Al Zarqoni enggan memasukan penafsiran tabi’in kedalam al ma’tsur, karena banyak dari tabi’in yang terlalu terpengaruh oleh riwayat-riwayat Isro’iliyat yang berasal dari kaum Yahudi, dan ahli kitab lainnya. Seperti terlihat pada kisah para nabi, penciptaan alam, ashab alkahfi dan sebagainya. Sedangkan ulama lain seperti al Dzarhabi, memasukkan tafsir tabi’in kedalam al ma’tsur, karena menurut pendapatnya meskipun tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari nabi namun, kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur memuat tafsir mereka. Seperti tafsir at Thobari, tidak hanya berisi tafsiran dari nabi dan sahabat, namun juga memuat tafsiran dari tabi’in.
2. Tafsir bi al ra’y
Tafsir ini dimulai ketika berakhirnya masa salaf, dan berkembang sangat pesat. Namun dalam menerimanya ulama terbagi dua, ada yang membolehkan dan ada yang menerimanya. Tapi setelah diteliti kedua pendapat yang bertentangan tersebut hanya berrsifat lafdzi. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’y (pemikiran) semata ( hawa nafsu ) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya mereka membolehkan penafsiran dengan ijtihad, yang berdasarkan Alquran dan Alhadist, serta kaidah-kaidah yang diakui sah secara bersama.
Jadi jelaslah kalau perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah

melalui dua jalur, yaitu al ma’tsur, dan al ra’y. Dengan demikian dikatakan bahwa al ma’tsur dan al ra’y merupakan jenis tafsir, bukan metode atau corak tafsir.

C. Perkembangan metode tafsir
Sebenarnya tidak dijumpai dikalangan ulama salaf kitab yang membahas tentang metode tafsir secara khusus, namun bisa dikatakan metode tafsir lahir sejalan dengan lahirnya tafsir, namun pada masa itu belum dimulai pembukuan ilmu-ilmu Islam, termasuk metode tafsir apalagi mengajinya secara ilmiah. Karena para sahabat menyaksikan dan mengalami langsung situasi dan kondisi ketika wahyu diturunkan. Selain itu mereka menguasai ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan Alquran. Seperti bahasa arab, balaghot, sastra, dan sebagainya. Semua itu bisa membantu mereka dalam menafsirkan Alquran secara benar dan utuh, oleh karena itu mereka tidak membutuhkan kajian khusus mengenai metodologi tafsir, namun bukan berarti mereka menafsirkan Alquran tanpa metode, malah sebaliknya metode yang diterapkan oleh generasi pertama itulah yang dikembangkan para mufasir yang datang kemudian. Ada beberapa macam metode yaitu,
1. Metode komparatif
Metode komparatif adalah metode yang penafsiran Alquran yang didalamnya membahas tiga aspek,
a. Perbandingan ayat dengan ayat, yaitu membandingkan teks ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam dalam satu kasus yang sama.
b. Perbandingan ayat dengan hadist, yaitu membandingkan ayat Alquran dengan Hadist yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
c. Perbandingan berbagai pendapat mufasir, yaitu membandingkan bermacam-macam pendapat para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Perbandingan adalah ciri utama metode komparatif. Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadist ialah pendapat dari para ulama, bahkan dalam aspek ketiga pendapat ulama tafsir itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh karena itu jika penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak bisa disebut metode komparatif.
2. Metode Global (Manhaj Ijmali)
Yang dimaksud dengan metode global adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran secara ringkas dan padat, tapi mencakup, didalam bahasa yang jelas dan populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya memenuhi susunan ayat-ayat didalam mushaf. Disamping itu pengajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari bahasa Alquran, sehingga pembaca dan pendengar seakan-akan masih tetap mendengar Alquran, padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Contoh kitab tafsir Jalalaini yang dikarang oleh Al Mahalli dan As Suyuti, Tafsir Alquranul karim karangan Muhammad Farid Wajdi dan sebagainya.
3. Metode Analisis (Manhaj Tahlili)
Metode Analisis adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan sebagai aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam Alquran ayat
demi ayat, surat demi surat, sesuai urutannya dalam mushaf.
Penafsiran metode ini diwarnai dengan kecenderungan dan keahlian si mufasir. Metode ini dapat mengambil bentuk al ma’tsur, karena penguraiannya menyangkut berbagai pendapat yang disampaikan oleh nabi, sahabat, maupun para tabi’in dan tokoh tafsir lainnya. Kitab tafsir yang termasuk kelompok al ma’tsur dengan menggunakan metode ini adalah Tafsir at Thobari karangan Ibnu Jarir, At Thobari ma’alim al Tanzil karangan al Baghowi, dan lain-lain. Sedangkan kitab tafsir bi al ra’y yang menggunakan metode ini yaitu Tafsir al khazin karangan al Khazin, Tafsir Alquran al ‘Adzhim karangan al Tustari dan sebagainya. Metode analisis menerangkan asbab al nuzul, munasabat (kolerasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya) dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan seperti kosakata, susunan kalimat, dan sebagainya.
4. Metode Tematik (Manhaj Mawdhu’i)
Metode ini membahas tentang ayat-ayat Alquran sesuai dengan tema yang ditentukan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dihimpun . Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspek seperti, asbab al nuzul, kosakata, istinbath (penetapan hukum), dan lain-lain. Semua itu dijelaskan secara tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta (kalau ada) yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari Alquran dan Hadist, maupun pemikiran rasional. Contoh kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah al Insan fi Alquran dan al Mar’at al ‘Aqqad, Ar Riba’ fi alquran oleh al Mawdudi dan kitab-kitab tafsir yang lain.



BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran jadi tafsir Alquran adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar untuk dipahami dari ayat-ayat Alquran.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan demikian pengertian metodologi tafsir dengan metode tafsir adalah berbeda. Gabungan dari tiga sumber yaitu penafsiran Rosul, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran Tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok dinamai Tafsir bi al Ma’tsur.
Pada abad ketiga Hijriyah masa salaf berakhir, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka aliran-aliran atau madzhab dikalangan umat Islam juga berkembang. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan umat Islam dalam mengembangkan aliran-alirannya. Untuk mencari itu mereka mencari ayat-ayat Alquran dan al hadist dan mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang tafsir bi al ra’y yaitu tafsir melalui pemikiran-pemikiran atau ijtihad kaum fuqoha.
Ada beberapa macam metode yaitu, metode komparatif, Metode Global (Manhaj Ijmali), Metode Analisis (Manhaj Tahlili), Metode Tematik (Manhaj Mawdhu’i).


DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashrudin. 2002. Metode Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M Quraish. 1994.Membumikan Alquran. Bandung: Khazanah Ilmu-ilmu Islam.
Al Qattan, Manna’ Kholil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Alquran. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa.
Syadali Ahmad. 2006. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.

DASAR-DASAR QURANI DAN HADIST TENTANG AKHLAK TASAWUF

DASAR-DASAR QURANI DAN HADIST TENTANG AKHLAK TASAWUF

Sekarang ini, banyak buku-buku yang membahas tentang tasawuf dan banyak penduduk yang berminat untuk mempelajarinya. Kita lihat negara-negara yang mayoritas beragama Islam, banyak sekali di situ kita temui berbagai buku yang menerangkan tentang tasawuf.hanya saja tingkat ketertarikan seseorang tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan yang menyeluruh terhadap ilmu tasawuf. Ketertarikan mereka terhadap tasawuf dapat dilihat dari dua kecenderungan, pertama kecenderungan terhadap kebutuhan fitroh, yaitu kita mempelajari akhlaq tasawuf karena keinginan nurani kita sendiri dan yang kedua kecenderungan pada persoalan akademis, yaitu kita mempelajarinya karena sudah menjadi kewajiban kita, misal kita di sekolah wajib mengikuti pelajaran akhlaq tasawuf padahal sebenarnya kita tidak ingin mempelajarinya.
Agama Islam memiliki dua dasar dalam melakukan perbuatannya dalam sehari-hari, maka dasar akhlak tasawuf juga berasal dari dua sumber itu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Dinyatakan dalam hadits nabi
عَنْ اَنَسٍ ابْنِ مَالِكٍ قَالَ النَّبِىُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ.
Artinya:
“Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi SAW: telah ku tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara yang apabila kamu berpegang pada keduanya maka tidak akan tersesat yaitu kitab Allah dan sunnah RosulNya”.
Dengan demikian diketahui bahwa dasar-dasar atau pegangan orang Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang mana orang yang melakukan syariat-syariat islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka orang itu tidak akan merasa rugi.


1. Dasar-dasar Al-Qur’an tentang Akhlak Tasawuf
Al-Qur’an merupakan dasar agama Islam yang di dalamnya termasuk “Akhlak Islam”. Beberapa masalah yang timbul bisa diselesaikan melalui al-Qur’an, sebagaimana salah satu fungsi al-Qur’an yaitu sebagai keputusan terakhir apabila dalam al-Hadits tidak diterangkan. Namun tidak semua masalah akhlak bisa dicari dalam Al-Qur’an, contohnya tentang masalah yang bermunculan pada masa sekarang, maka orang Islam menggunakan hasil dari ijtihad para Ulama, namun Ulama juga mengkaitkan jawaban-jawabannya itu dengan merujuk pada dasar-dasar Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dengan demikian Ulama mengambil keputusan dengan cara menyamakan kejadian maupun problem-problem sekarang dengan masalah-masalah yang ada ketika Al-Qur’an diturunkan, maka Al-Qur’an digunakan sebagai dasar untuk mencari kesimpulan atau mencari mana akhlak yang sebaiknya dilakukan. Namun demikian dalam pembentukan akhlak ini, Islam juga menghargai pendapat akal pikiran yang sehat sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Peranan akal pikiran dalam ajaran Islam demikian besar dan dihargai adanya, termasuk peranannya dalam menjabarkan masalah akhlak. Ajaran akhlak yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah bersifat absolute dan universal serta mutlak, yakni tidak dapat ditawar-tawar lagi dan akan berlangsung sepanjang zaman. Namun dalam penjabaran ajaran Al-Qur’an yang absolute itu bentuknya berbeda-beda sesuai dengan keadaan masyarakat atau sesuai dengan yang diakui masyarakat. Dengan demikian ajaran akhlak dalam Islam dapat diterima oleh seluruh masyarakat berdasarkan hasil ijtihad akal pikiran. Sebagai contoh menutup aurat adalah merupakan akhlak yang bersifat absolute, mutlak dan universal, tetapi bagaimana cara dan bentuk menutup aurat itu dapat berbeda-beda. Untuk menentukan cara dan bentuk menutup aurat tersebut diperlukan pemikiran akal yang sehat.
Ketika Aisyah ditanya oleh sahabat tentang akhlak Rosulullah ia menjawab “Al-Qur’an”. Para sahabat terkenal sebagai penghafal al-Qur’an kemudian menyebarkannya disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka melakukan dan mengamalkan akhlak Rosulullh yaitu akhlak Al-Qur’an. Dalam kitab al-Luma yang ditulis oleh Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi dikatakan bahwa dari Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan pada Illahi, dan latihan-latihan rohaniyah mereka yang di susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis (hal yang berhubungan dengan sesuatu yang ghoib) .
Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari penelaahan rahasia di balik teks-teks Ilahiah secara ringkas. Al-Qur’an menjelaskan konsepsi tasawuf dalam bentuk dorongan manusia untuk menjelajahi dan menundukkan hatinya. Serta tidak tergesa-gesa untuk puas pada aktifitas dan ritual yang bersifat lahiriah . Seperti dinyatakan dalam ayat berikut.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kapada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya diturunkan Al-Kitab kepadaNya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mareka, lalu hati mareka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mareka adalah orang-orang yang fasik(Q.S. Al-Hadida [57]:16).
Ajaran islam secara umum mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah, ajaran yang bersifat batiniyah nanti akan menimbulkan hati mareka menjadi keras. Dengan demikian unsur kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam yaitu As-Sunnah, Al-Qur’an serta praktek kehidupan nabi dan para sahabatnya, antara lain Al-Qur’an menerangkan tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai dengan tuhan .

Hal itu difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ( المائدة : 54)

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersifat lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersifat keras pada orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela, itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui “. (Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54)
Allah juga memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan selalu memohon ampun kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (التحريم : 8)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surge yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia, sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mengatakan, “ Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Q. S. At Tahrim [66] :8).
Orang yang berakhlak berarti ia berilmu, tapi ilmu itu tergantung orang yang memilikinya, ada yang baik dan ada yang buruk. Berarti akhlak sangat berkaitan dengan ilmu. Apabila memiliki ilmu yang baik, maka kemungkinan besar orang itu bisa berbuat kebaikan atau berakhlak dengan baik. Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan tentang keutamaan orang yang berilmu, salah satunya dalam surat Ali-Imran:18 yang artinya,” Allah bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Dia (Allah), yang menegakkan keadilan.para malaikat dan orang-orang berilmu (juga ikut bersaksi). Tiada tuhan melainkan Dia, yang maha perkasa lagi maha bijaksana” (QS. Ali-Imran:18).
Jika kita cermati ayat tersebut dengan seksama maka akan kita ketahui bahwa Allah SWT sangat memperhatikan orang-orang yang berilmu, Allah memulai dangan Diri-Nya, lalu dengan malaikat setelah itu dengan para ahli ilmu, sungguh betapa tingginya kemuliaan, keutamaan dan kehormatan ini.
Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani mengatakan bahwa semua tahapan
(maqamat) dan keadaan (akhwal) para sufi, yang pada dasarnya merupakan tema pokok ajaran tasawuf, berlandaskan Al-Qur’an. Berikut ini landasan sebagian muqamat dan akhwal para sufi tersebut.
a. Dalam Al Qur’an menerangkan tentang penggemblengan jiwa, yang digunakan sebagai landasan, yaitu dalam surat Al Ankabut [29] ayat 69)

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (العنكبوت: 69)

Artinya, “ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.(Q. S. Al Kanbut [29]: 69)


Firman-Nya lagi,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
(النازعات:40-41)

“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.
b.Tentang maqam ketaqwaan, Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات:13)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q. S. Al Hujurat [49]:13)
Allah SWT. juga berfirman,
.......وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ( البقرة : 194)
Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al Baqoroh [2] 194)
c. Tentang maqam Zuhud
“Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”
d.Tentang maqam tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allah SWT. berikut ini.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (الطلاق : 3)
…Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…(Q. S. Ath Thalaq [ 65]:3)

قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (الزمر: 39)
Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman itu bertawakal. (Q. S. Az Zumar [39]: 39)
Tentang maqam syukur antara lain berlandaskan pada firman-firman Allah SWT. berikut ini.
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ ( إبراهيم : 7 )
…Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu…(Q.S. Ibrohim [14]:7)
e. Maqam sabar, berlandaskan pada firman-firman Allah SWT. berikut ini.

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
(المؤمن :55)
Maka bersabarlah kamu karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuja Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (Q.S. Mu’min [40]:55)


..... وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (البقرة : 155 )
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Q.S. Al-Baqarah[2]:155)
f. Maqam rida berlandaskan pada firman Allah SWT. Berikut ini.
رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ( المائدة : 119)
….Allah rela terhadap mereka, dan merekapun rela terhadapnya…(Q.S. Al-Maidah [5]:119).
g. Tentang maqam ma’rifah, antara lain Allah SWT. berfirman,

وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة : 282)
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً
(الكهف : 65)
Lalu, mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadany ilmu dari sisi Kami. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 65).
Demikian sebagian ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis dan moral yang diungkapkan para sufi tentang tingkatan dan keadaan, dicarikan rujukannya dalam dalam Al-Qur’an.
2. Dasar-dasar Al-Hadits tentang Akhlak tasawuf
Selain Dapat dilihat dari kerangka Al-Qur’an, tasawuf juga dapat dilihat dari kerangka Al-Hadits. Hadits menurut para ulama ahli hadits (muhadditsin) adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir (peneguhan/mendiamkan sebagai tanda membolehkan atau persetujuan), dan sifat-sifat nabi nabi Muhammad SAW. Namun ulama usul fiqih mendefinisikan hadits lebih sempit lagi yaitu terbatas pada ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. yang berkaitan tentang hukum .
Ucapan berarti tentang semua ucapan Rosulullah SAW. tentang berbagai macam bidang seperti aqidah akhlak, pendidikan, muamalah, hukum dan sebagainya. Contoh tentang akhlak Rosulullah SAW. bersabda: “kekejian dan perbuatan keji sama sekali bukan dari ajaran agama islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya adalah yang terbaik budi pekertinya” (HR. Tirmidzi). Nabi Muhammad SAW. berkata bahwa hati terdapat empat macam, yakni: (1) hati yang tajam; (2) hati bersih dari kotoran; (3) hati yang di dalamnya ada sesuatu seperti lampu yang menyinari hatinya; (4) hati yang terhijab.
Dalam hadits Rosulullah banyak dijumpai keterangan yang membicarakan tentang kehidupan rohaniah manusia. Misal dalam hadits:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Artinya:
“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, berarti ia mengenal Tuhannya”.
Dalam hadits juga dijelaskan tentang tasawuf yaitu:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
Artinya:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenalKu”.
Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri di Gua Hirah, menjelang datangnya wahyu beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang arab tengah di dalamnya seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara. Ucapan-ucapan Nabi yang berkenaan dengan pembinaan akhlak yang mulia itu diikuti pula oleh perbuatannya dan kepribadiannya. Beliau dikenal sebagai akhlak shidiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan dakwah), fatanah (cerdas).
Para sahabatpun banyak juga yang menganut praktek bertasawuf, yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar misalnya pernah berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakutan, kefanaan dalam keagungan dan kerendahan hati.” Khalifah Umar Bin Khatab pernah berkhutbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana Khalifah Utsman Ibn Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Baginya Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemanapun ia pergi.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa benih-benih tasawuf telah diterangkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat dalam kehidupan sehari-hari.