Senin, 09 Mei 2011

Akal dan wahyu

A.

Pengertian akal
Akal berasal kata Arab, al-‘aql العقل) ( yang dalam bentuk kata benda (isim) tidak ditemui dalam Alquran. Alquran hanya membawa bentuk kata kerjanya (fi’il) yang diulang sebanyak 49 kali. Kata al-‘aql menurut bahasa berarti mengikat dan menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat, dan menahan lidah dari berbicara.
Selanjutnya al- ‘aql juga mengandung arti kalbu, dan kata ‘aqala mengandung arti memahami. Al Jurjani mengemukakan pengertian akal sebagai berikut,
العقل جوهرروحا نى خلقه تعا لى متعلقا ببدن الانسا ن وقيل العقل نور في القلب يعرف الحق و البا طل. وقيل العقل جوهر مجرد عن المادة يتعلق با لدن تعلق التدبير والتصرف. وقيل العقل قوةللنفس النا طقة فصريح بان القوة العاقلة امر مغا ير للنفس النا طقة وان الفاعل فى التحقيق هو النفس . والعقل عالة لها بمنزلة السكين بالنسبة الى القا طع وقيل العقل والفس والذهن واحدة الا انها سميت عقلا لكونها مدركة وسميت نفسا لكونها متصرفة وسميت ذهنا لكونها مستعدة للا دراك
“Akal ialah subtansi jiwa yang dicptakan Allah SWT yang berhubungan dengan badan manusia. Akal juga berarti cahaya (Annur) dalam hati untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan. Ada pula yang mengartikan akal dengan subtansi yang murni dari materi yang hubungannya dengan badan dalam bentuk mengatur dan mengendalikan. Menurut pendapat lain, akal ialah suatu kekuatan bagi jiwa berfikir. Karena jelas bahwa kekuatan berfikir berbeda dengan jiwa berfikir, sebab pelaku perbuatan sebenarnya adalah jiwa sedang akal adalah alat bagi jiwa sebagaimana pisau alat bagi tukang potong. Adapula yang menyamakan arti al aql, an nafs, dan al zihn. Dinamakan al aql karena ia bisa menangkap (almudrikah), dinamakan an nafs karena ia pengendali (mutasarrifah), dan dinamakan al zihn karena ia siap untuk menangkap sesuatu (musta’iddat l al idrak).
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan, bahwa akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa.
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

B. Pengertian wahyu
Menurut pengertian bahasa, wahyu ialah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan tepat. Sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Dalam terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-Qur’an-bacaan mulia. Al-Qur’an adalah kitab dan firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi SAW. Lewat penurunan wahyu , sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 1-5:
ا لم . ذ لك ا لكتا ب لا ريب فيه هد ي للمتقين . اللذ ين يؤ منو ن با لغيب و يقيمون الصلا ة و مما ر زقنا هم ينفقو ن . و الذين يؤ منون بما انز ل اليك و ما انز ل من قبلك وبا لاخرة هم يوقنون . اولئك علي هدي من ربهم ؤ الئك هم المفلحون .
Artinya:
“ Kitab Al-Qur’an ini, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dan yang beriman kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sebelummu, serta yakin akan adanya kehidupan akhirat, mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Q.S. Al-Baqarah : 1-5)

C. Peran Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Kaum Mutakallimin
Dalam analisis kalam, masalah awal yang muncul adalah hubungan akal dengan wahyu. Harun Nasution membuat empat kategori, yang merupakan pokok persoalan kalam. Keempat persoalan itu meliputi, kemampuan manusia mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib. Jika kewajiban-kewajiban itu tidak dilakukannya maka ia akan mendapat hukuman atau siksaan dari Tuhan.
Meskipun kaum Mu’tazilah memberikan penghargaan sedemikian tinggi kepada akal atau rasio, namun tidaklah berarti bahwa mereka pemikir-pemikir bebas yang mendukung sepenuhnya rasionalisme murni seperti yang kadang-kadang dituduhkan orang kepadanya. Mereka adalah rasionalis-rasionalis Islam yang menghargai akal sebagai sumber kebenaran dan moral tanpa mengabaikan sedikitpun kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Bahkan wahyu bagi mereka, tidak hanya dianggap penting tetapi juga sekaligus kebutuhan manusia.
Dari aliran Asy’ariyah, al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tadak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang, sebelum wahyu turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifatNya dan kemudian percaya kepadaNya, maka orang demikian adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelum adanya wahyu, tidak percaya kepada Tuhan, ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Dengan demikian nyatalah, bahwa akal dalam pandangan al-Asy’ariyah mempunyai daya yang kecil, kalau bukan sangat kecil. Oleh karena itu, wajar kalau aliran ini memandang wahyu mempunyai fungsi yang sangat besar dan mempunyai kedudukan penting, tidak hanya dalam menjelaskan pengetahuan-pengetahuan tertentu, tetapi juga dalam menentukan kewajiban keagamaan bagi manusia.
Kaum Maturidiah, meskipun mereka seperti halnya kaum al-Asy’ariyah, disebut sebagai pendukung kaum Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah, namun mereka berbeda pandangan dengan al-Asy’ariyah dalam soal kekuatan akal. Bahkan kaum Maturidiah golongan Samarkand boleh dikatakan hampir sepaham dengan Mu’tazilah dalam masalah kedudukan akal tersebut. Bagi mereka, tiga dari empat persoalan yang diperdebatkan itu, dapat diketahui oleh akal yaitu, mengetahui adanya Tuhan, mengetahui kewajiban berterimakasih kepadaNya, mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Perbedaan golongan ini dengan golongan Mu’tazilah adalah bahwa akal menurut golongan Maturidiah tidak dapat menetapkan kewajiban manusia untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat atau buruk. Hal ini menurut meraka hanya ditentukan oleh wahyu.
Sedangkan bagi kaum Maturidiah golongan Bukhara, kemampuan akal terbatas hanya sebagai wahana bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan tidak dapat berfungsi sebagai mujib. Kewajiban-kewajiban menurut mereka, diketahui manusia hanya melalui wahyu. Karena itulah dalam pandangan mereka akal hanya dapat mengetahui dua di antara empat persoalan keagamaan tersebut yaitu: mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

D. Fungsi Wahyu
Berkaitan dengan fungsi wahyu, Harun Nasution mengikuti pemikiran kalam Muhammad Abduh, bahwa ada dua fungsi pokok wahyu, yaitu:
Pertama, memberi keyakinan akan adanya hidup sesudah mati. Wahyu akan menjelaskan perincian tentang hidup sesudah mati itu, yang oleh akal manusia tidak akan diketahui secara mendetail. Kedua, wahyu akan menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dan syariatnya yang akan membimbing manusia tentang moral yang benar.
Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
Dalam pendapat aliran Asy’ariyah, wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariyah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
Adapun aliran Maturidiah, bagi cabang Samarkand, wahyu perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan dalam pendapat cabang Bukhara, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Akal merupakan subtansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa. Wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri. Dalam kaum mutakalimin mengalami perbedaan dalam peran akal dan wahyu. Apa yang dikatakan oleh setiap golongan tentang akal dan wahyu mengalami perbedaan. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Sedangkan Al As’ari dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Fungsi wahyu salah satunya yaitu memberi keyakinan akan adanya hidup sesudah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar