Senin, 09 Mei 2011

Kronologis kehidupan keberagaman / rohaniyah masyarakat Indonesia pada zaman prasejarah Indonesia

Sejarah kuno Indonesia kelihatannya sudah tersusun baik, padahal sesungguhnya itu masih sangat cerai berai. Masih banyak wilayah dan bagian yang kosong yang hanya dapat ditulis dengan bantuan hipotesis, yang terus menerus menghadapi revisi setiap ada penemuan yang baru. Dilihat sepintas lalu, sejarah Indonesia banyak meninggalkan keterangan-keterangan tertulis berupa prasasti dan karya sastra. Bangsa Indonesia akan mengingatkan kita tentang jaman Prasejarah, karena alat-alat yang digunakan pada jaman tersebut ditemukan di Indonesia, mulai dari palaeolithikum hingga neolithikum.
Jaman prasejarah dimulai sejak dari permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kira-kira abad kelima. Ditinjau dari segi etimologis, kata prasejarah berasal dari dua suku kata, yaitu pra dan sejarah. Kata pra, berarti belum sedang kata sejarah memiliki arti yang bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah tulisan. Jadi jaman prasejarah berarti kurun waktu sebelum manusia mengenal tulisan.
Jaman prasejarah hanya meliputi jaman terakhir dari pembagian jaman dalam sejarah bumi yang didasarkan atas geologi, yaitu dimulai quartair. Disamping ada pembagian jaman prasejarah berdasarkan sejarah geologi bumi. Jaman prasejarah juga bisa dibagi menurut archeologi yaitu ilmu yang mempelajari hasil-hasil kebendaan dari kebudayaan-kebudayaan yang sudah silam, yaitu yang didasarkan atas bahan-bahan berupa peninggalan dari kebudayaan manusianya sendiri. Maka atas benda-benda peninggalan itu, prasejarah dibagi menjadi jaman batu dan jaman logam. Jaman batu dibagi menjadi tiga jaman, yaitu jaman palaeolithikum, jaman mesolithikum, dan jaman neolithikum.
A. Palaeolithikum.
Alam menyediakan segala kebutuhan untuk hidup, dan untuk menjaga kelangsungan hidup, maka semua makhluk hidup harus makan. Sebagai makhluk manusia memiliki kelebihan daripada makhluk yang lain, yaitu memiliki akal yang berkembang. Oleh karena itu dalam memperoleh makanan manusia tidak hanya menggunakan indra dan fisikya, tetapi lebih dari itu, ia banyak menggunakan akalnya. Dalam kelebihan menggunakan akalnya inilah manusia kemudian bisa menciptakan berbagai alat-alat untuk membantu dan mempermudah mencari makanan.
Pada jaman ini alat-alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu berupa batu yang masih kasar, hanya saja di bentuk sesuai dengan alat yang mereka butuhkan. Adapun tentang kebudayaan kerohaniannya, kita tak dapat mengetahui dengan sebenarnya, bukti-bukti boleh dikatakan tidak ada, sama sekali tidak mencukupi untuk memungkinkam kita untuk mengambil kesimpulan dan memberi gambaran yang nyata.
B. Mesolithikum.
Kita ketahui bahwa masyarakat palaeolithikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Setelah pleistosen berganti dengan holocen, kebudayaan palaeolithikum tidak begitu saja lenyap, melainkam masih terus berlangsung. Kecuali mengalami perkembangan selanjutnya.
Di Indonesia kebudayaan palaeolithikum mendapat pengaruh baru dari daratan Asia yang membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum. Mesolithikum disebut juga jaman batu tengah, dimana hasil-hasil budaya masih mirip dengan periode palaeolithikum. Kebudayaan mesolithikum banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan baru-baru ini di Flores.
Manusia pada jaman itu masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (food gathering), yaitu mengumpulkan makanan sebanyak-banyaknya, seperti pada jaman prasejarah. Namun sebagian sudah memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga tidak mustahil bahwa bercocok tanam secara kecil-kecilan sudah dikenal pula. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (kyokkenmodinger) dan didalam gua-gua (abris sous roche), terutama disitulah didapatkan banyak bekas-bekas kebudayaannya.
Perkataan Denmark, kyokkenmodinger merupakan kebudayaan mesolithikum yang artinya sampah-sampah dapur. Sampah-sampah tersebut ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut, diantara langsa di Aceh dan Medan. Hidupnya dari siput dan kerang. Kulit-kulit kerang yang dibuang selama waktu yang bertahun-tahun, akhirnya menjelmakan bukit kerang yang tingginya sekitar tujuh meter. Bukit-bukit tersebut dinamakan kyokkenmodinger. Dalam bukit-bukit tersebut ditemukan kapak-kapak genggam, yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam masa palaeolithikum).
Kapak pada masa mesolithikum dinamakan pebble atau kapak Sumatra. Satu macam lagi kapak yang ditemukan dimasa ini yaitu hache courte yaitu kapak pendek. Selain kapak-kapak dari bukit kerang, ditemukan juga berbagai pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Pipisan ini rupanya tidak hanya digunakan untuk menggiling makanan, tetapi juga digunakan untuk menghaluskan cat merah, sebagaimana ternyata dibekas-bekasnya. Untuk apa cat itu digunakan belum dapat dikatakan dengan pasti. Mungkin sekali pemakaiannya ada hubungannya dengan keagamaan, yaitu dengan ilmu sihir. (Merah adalah warna darah. Darah adalah tanda dan sendi hidup, maka cat merah diluaskan pada badan sebagaimana masih menjadi kebiasaan berbagai suku bangsa, mempunyai maksud agar tambah kekuatannya dan tambah tenaga hidupnya).
Dengan keterangan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh manusia pada waktu itu, bisa dikatakan bahwa hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat di alam sekitarnya dilanjutkan, ini terbukti dari bentuk alat-alatnya yang terbuat dari batu, tulang serta dari kulit kerang.
Menurut Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia 1, tempat penemuan kedua dari kebudayaan mesolithikum adalah abris sous roche, yaitu gua yang dipakai tempat tinggal. Menurut Fritz Sarasin, yang melakukan penelitian beberapa gua didaerah Lamoncong Sulawesi Selatan pada tahun 1893-1896, menyimpulkan bahwa kebudayaan abris sous roche adalah kebudayaan asli masyarakat Toala.
Beliau juga mengatakan bahwa sebagian besar alat-alat yang ditemukan terdiri dari tulang, sehingga timbul istilah “Sompung bone- culture”. Yang menjadi keganjilan yaitu di gua-gua tersebut tidak ditemukan kapak Sumatra dan kapak pendek, yang menjadi mesolithikum Sumatra. Hanya di beberapa gua di daerah Besuki (Jawa Timur) yang penyelidikannya dilakukan oleh Van Heekeren, ada juga yang terdapat pebbles disamping banyak ditemukan ujung panah dan alat-alat dari tulang. Selain itu Soekmono juga mengatakan dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, bahwa di Sulawesi Selatan menjelang akhir abad yang lalu, di daerah Lamoncong masih didiami suku-suku Toala dan ditemukan abris sous roche. Corak khusus ujung-ujung panah Toala, menjadikannya perbedaan dengan ujung-ujung panah dari Jawa Timur. Adapun manusia yang menjadi pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Papua-Melanesoide.
Di daerah Tonkin di Indo-China, terdapat pegunungan yang berdekatan, yaitu Bascon dan Hoabinh. Didaerah ini juga terdapat alat-alat yang menunjukkan adanya suatu kebudayaan yang sudah dikenal sebagai mesolithikum. Penyelidikan menunjukan bahwa di Tonkin itulah letaknya pusat kebudayaan mesolithikum Asia Tenggara, dan dari situ tersebar berbagai jurusan. Sampainya di Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat. Di situ tidak hanya ditemukan alat-alatnya saja, namun juga tulang belulang manusia. Sebenarnya Tonkin didiami oleh dua golongan bangsa, yaitu jenis Papua-Melanesoide dan Australoide. Dan bangsa Papua Melanesoide inilah yang bekebudayaan alat-alat mesolithikum yang belum diasah atau pebble sedangkan kecakapan mengasah rupanya hasil pengaruh dari bangsa Mongoloide yang sudah lebih tinggi peradabannya.
Soekmono mengatakan, selain di daerah-daerah yang telah di terangkan diatas, di Bandung juga ditemukan hasil-hasil kebudayaan yang berupa flakes. Flakes disini dibuat dari batu-batu indah yang berwarna hitam yang disebut dengan obsidian. Obsidian sebagai bahan untuk flakes, di daerah danau Bandung itu ternyata bukan dari situ pula asalnya, melainkan di daerah Nganggrek di sebelah utara Garut. Alat-alat obsidian ditemukan pula di daerah Danau Kerinci di Sumatra. Selain obsidian, di daerah Danau Bandung dan Kerinci juga ditemukan pula pecahan-pecahan tembikar dan benda-benda perunggu. Maka untuk umurnya terdapat perbedaan diantara para ahli, ada yang mengatakan neolithikum dan ada yang mengatakan mesolithikum.
Kesenian mesolithikum yang bertingkat tinggi, telah juga ditemukan bekas-bekasnya, ialah di gua leang-leang di Sulawesi Selatan berupa gambar berwarna dari seekor babi hutan sedang lari, dan di beberapa gua lainnya gambar-gambar atau cap tangan yang berwarna merah. Menurut van Heekeren, gambar babi hutan itu umurnya kira-kira 4000 tahun. Jadi bertepatan dengan berakhirnya jaman mesolithikum dan dimulainya jaman neolithikum.
C. Neolithikum
Kebudayaan neolithikum dapat dikatakan bahwa kebudayaan pertama yang tersebar di kepulauan kita, yaitu Indonesia. Soekmono mengatakan bahwa jaman neolithikum merupakan revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Penghidupan food gathering menjadi food producing. Perubahan inilah yang dimaksud revolusi tersebut. Pada jaman ini manusia tela mengenal bercocok tanam dan berternak. Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang, dan tidak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kehidupan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dijinakkan. Cara untuk memanfaatkan hutan belukar dengan menebang dan membakar pohon-pohon serta belukar mulai dikembangkan. Seingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana.
Mengenai alat-alatnya diketahui bahwa yang menjadi ciri istimewa dari neolithikum yaitu kepandaian mengasahnya. Kebudayaan yang ada pada masa ini yaitu kapak persegi dan kapak lonjong. Kapak-kapak persegi di Indonesia terutama sekali didapatkan di Sumatra, Jawa, dan Bali. Alat-alat atau kapak-kapak yang ditemukan tersebut kemungkinan digunakan untuk upacara-upacara tertentu. Seperti pacul yang indah dipakai pada upacara permulaan mengerjakan sawah, dan tarah dari calchedon pada upacara mendirikan sebuah rumah.
Kebudayaan kapak lonjong dapat diduga lebih tua dari pada tradisi kapak persegi. Menurut T. Harrison dalam ekskavasi yang dilakukan di gua niah Sarawak dan menurut pertanggalan C-14 yang diperolehnya, kapak lonjong ditemukan dalam lapisan tanah yang berumur +8000 tahun. Daerah pusat kapak lonjong dikepualauan kita ialah Irian. Tetapi kapak itu juga ditemukan di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak (Kalimantan Utara).
Selain kebudayaan-kebudayaan tersebut juga ada kebudayaan-kebudayaan lain, seperti perhiasan, tembikar, dan pakaian. Di Meloko (Sumba) banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang-tulang manusia. Terang bahwa dalam hal ini ada soal penguburan yangb serupa dengan apa yang masih juga terdapat pada berbagai bangsa sekarang, ialah bahwa mula-mula mayat itu ditanam dan kemudian setelah beberapa waktu tulang-tulangnya dikumpulkan untuk ditanam kedua kalinya dengan disertai berbagai upacara.
Dalam buku Sejarah Islam Indonesia dijelaskan bahwa, jaman neolithikum kehidupan rohaniahnya lebih jelas, dengan ditemukannya bahan-bahan yang di duga kuat sebagai sarana pemujaan teradap arwah. Suatu kepercayaan bahwa setelah kehidupan nyata di dunia ini, akan berlanjut kehidupan baru, yakni setelah mati. Yaitu kepercayaan bahwa roh seseorang tidak akan lenyap pada saat seseorang telah meninggal dunia. Upacara yang paling mencolok yaitu upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang di anggap terkemuka oleh masyarakat. Si mati biasanya di bekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan, periuk, dan lain-lainnya yang dikubur bersama-sama, dengan maksud agar perjalanan si mati ke dunia arwah dan kehidupan selanjutnya akan terjamin sebaik-baiknya. Tujuannya adala agar roh si mati tidak tersesat dalam perjalanan menuju ke tempat arwah nenek moyang atau tempat asal mereka.
Kematian dipandang tidak membawa perubahan esensial dalam kedudukan, keadaan maupun sifat seseorang. Seseorang bermartabat rendah akan rendah juga kedudukannya di dunia akherat. Biasanya hanya orang-orang yang terkemuka atau yang telah pernah berjasa dalam masyarakat sajalah yang akan mencapai tempat khusus dialam baka. Tetapi di pihak lain, jasa amal atau kebaikan, yaitu bekal untuk mendapatkan tempat khusus di dunia dan akherat, dapat diperolehdengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang mencapai titik puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan batu besar. Menempatkan si mati didalam tempat yang terbentuk dari susunan batu besar (seperti peti batu, bilik batu, sarkofagus, dan sebagainya), baik yang dikikir maupun yang dilukis dengan berbagai lambang kehidupan dan lambang kematian, merupakan tindakan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu si mati dan yang ditinggalkan. Jadi batu-batu besar itu menjadi lambang perlindungan bagi manusia berbudi baik. Gagasan hidup di akherat berisi keistimewaan yang belum atau yang sudah didapatkan di dunia fana, hanya akan dapat di capai di dunia akhirat berdasarkan perbuatan-perbuatan amal yang pernah dilakukan selama hidup manusia, ditambah dengan besarnya upacara kematian yang pernah diselenggarakan.
Bangunan-bangunan besar dari batu-batu besar biasanya dikelompokan menjadi kehidupan megalithikum. Adapun hasil-hasil yang terpenting dari kebudayaan megalithikum adalah,
Menhir, yaitu tiang atau tugu yang mejadi sarana pemujaan yang melambangkan tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang.
Dolmen, memiliki fariasi bentuk, yang tidak berfungsi sebagai kuburan, tetapi bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen di buat untuk pelinggih roh atau atau tempat pesajian.
Sarcofagus, atau keranda. Bentuknya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup.
Kubur batu, keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, begitu pula alas dan bidang atasnya. Sebenarnya tidak berbeda dengan peti mayat dari batu.
Punden berundak-undak. Bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-tingkat.
Arca-arca melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan. Hasil-hasil kebudayaan megalithikum memiliki hubungan dengan keagamaan yang berkisar kepada pemujaan roh nenek moyang. Dengan latar belakang kepercayaan akan kehidupan diakhirat dan alam pikiran yang berdasarkan pemujaan nenek moyang, terjelmakanlah berbagai macam bangunan yang kita sebut hasil-hasil kebudayaan pada jaman megalithikum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar