Senin, 09 Mei 2011

Orang Sakai di Riau

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk yang sangat padat. Selain itu masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku. Sehingga dikenal dengan istilah bertbeda-beda tetapi tetap jua. Ada suku Madura, suku Sakai di Riau, suku Samin yang ada di Bojonegoro dan sebagainya, yang merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi negara Indonesia. Akibat dari adanya bermacam-macam suku tersebut Indonesia bisa memiliki berbagai kebudayaan, baik dari segi bahas, mata pencaharian maupun agama.
Dalam makalah ini akan diterangkan tentang suku Sakai yang ada di Riau. Orang Sakai berada lumayan jauh dari kota, selain itu masyarakatnya tidak terlalu padat. Hal ini dikarenakan dengan beberapa hal yang akan diterangkan dalam makalah.
A. Lokasi dan Lingkungan hidup orang Sakai.
Di propinsi Riau ada lima kabupaten. Yaitu, Kab. Kampar, Kab. Bengkalis, Kab. Indragiri hulu, Kab. Riau, serta ada satu kota madya. Yaitu Pekan Baru yang menjadi Ibukota Riau. Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis. Sedangkan orang Sakai terbanyak adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau. Sebagian kecil lainnya hidup di wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang berpenduduk asli suku Sakai ada di desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei Limau dan sebagainya.
Tempat tinggal orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan rawa-rawa. Melalui jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan, tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang Sakai tidak sepenuhnya terasing dari masyarakat luas Riau. Karena lingkungan hidup mereka jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa, atau daerah berpaya-paya, berhutan serta bersungai.
Fauna dan flora lingkungan hidup mereka sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya lingkungan alam bukan pantai. Mereka hidup tepencar-pencar dalam sebuah satuan wilayah yang berada dalam sebuah satuan administrasi yang dinamakan batin (dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan kepenghuluan kalau jumlah penduduknya banyak. Pada masa sekarang perbatinan sudah tidak ada lagi, yang ada adalah penghuluan (desa).
Ketika kota Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian besar yang menghuni wilayah-wilayah disekitar kota tersebut diminta pergi dengan diberi pesangon untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta tanaman-tanaman yang ada diladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah tempat pemukiman ke kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai lainnya, dimana mereka mempunyai kerabat. Sedangkan sebagian lainnya berpindah ketempat pemukiman masyarakat terasing yang didirikan oleh Departemen sosial beberapa tahun kemudian setelah penggusuran tersebut.
B. Masyarakat dan Kebudayaan Orang Sakai.
1. Sejarah dan asal muasal orang Sakai.
Bechary Hasmy (1970), mantan kepala Kecamatan Mandau, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, A-ir, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal itu mencerminkan pola-pola kehidupan mereka, di kampung, tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Sedangkan menurut Parsudi suparlan, dari seorang bekas kepala perbatinan (dukuh) sakai yang bernama Saepel, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari kata sekai, yaitu nama sebuah cabang anak sungai yang bermuara di sungai Mandau. Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa nama sakai juga berasal dari kata saka, yaitu tiang rumah punggung utama, atau juga kata sikai (tergolong spesies calamus), yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah dan banyak terdapat di hutan-hutan tempat hidup mereka, yang daunnya di gunakan untuk atap rumah.
Menurut Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan. Gosib kemudian menjadi sebuah kerajaan, kemudian kerajaan gasib di hancurkan oleh kerajaan aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang orang sakai.
Dalam uraian Saepel (mantan batin beringin sakai), yang di wawancarai oleh Parsudi Suparlan, mengenai asal muasal orang sakai tercakup sejarah awal mula adanya perbatinan lima dan perbatinan delapan. Yang coraknya seperti dua paruh masyarakat. Adapun asal muasal orang sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam versi orang sakai itu sendiri adalah sebagai berikut.
a. Perbatinan lima.
Orang sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh).
Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
b. Perbatinan Delapan.
Beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja, sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.
Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang di dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemidian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami. Dan raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam.
Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.
C. Kependudukan.
Menurut Koentjaraningrat, dkk, yang mengutipcatatan Departemen Sosial Propinsi Riau pada tahun 1982, terdapat 4.995 orang sakai. Mereka hidup di 13 desa (kepenghuluan). Adapun desa-desa yaitu seperti yang terlihat dibawah ini.
No Desa Orang Keluarga
1 Pinggir 221 48
2 Semunai 139 38
3 Muara Basung 519 114
4 Kulin 64 58
5 Air Jamban 566 118
6 Tengganau 322 58
7 Petani 569 114
8 Kuala Penaso 142 50
9 Betulu 155 25
10 Syam-syam 927 184
11 Minas 139 29
12 Kandis 398 71
13 Sebangu 874 176
Menurut Parsudi Suparlan keluarga orang Sakai sangat kecil, mereka rata-rata mempunyai dua orang anak. Tingkat kematian balita sangat tinggi, begitu juga tingkat kemandulan. Kelambatan pengembangan jumlah penduduk orang Sakai tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu;
1. Mutu gizi yang rendah dari makanan sehari-hari, yaitu menggalo mersik, atau ampas dari hasil pemprosesan ubi kayu beracun.
2. Tingkat klebersihan tubuh dan lingkungan hidup amat rendah.Mandi dan mencuci pakain di lakukan tidak teratur.
3. Kurangnya mengadakan hubungan kelamin diantara suami istri, karena seringnya suami pergi kehutan.
D. Mata Pencaharian dan kehidupan ekonami.
Berladang.
Setiap orang Sakai harus memiliki sebidang tanah, bahkan orang dewasa atau remaja yang masih bujangan pun harus memiliki tanah atau ladang. Karena hanya dari ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Untuk pembuatan ladang melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak ada sarang semutnya.Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka memberi tahu Batin, tentang maksud membuka ladang diwilayah hutan yang mereka pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada dihutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemidian mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman lainnya.
Menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan.
Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan diladang berkurang atau seusai menanam padi.Disamping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.
E. Agama
Dalam buku Masyarakat terasing di Indonesia, di katakan bahwa agama orang Sakai bersifat Animistik. Agama asli orang sakai mungkin memang berdasarkan kepercayaan kepada berbagai makhluk halus, yang disebut antu. Mereka meyakini bahwa tidak ada penggolongan antu, jadi baik kemalangan, penyakit, keberuntungan atau juga kebahagiaan dapat disebabkan karena jenis antu yang sama. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut pada dasarnya sama, yaitu dengan dikir. Orang sakit diobati dengan dikir, begitu juga orang yang sial. Prinsip dikir ini adalah berdamai dan menyenangkan hati para antu. Caranya dengan memberikan segala kemewahan dan kenikmatan hidup yang digambarkan secara simbolik dalam pentas tarian yang dilakukan oleh sidukun.

F. Kesenian dan Kerajinan.
Orang Sakai dikenal sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Semua orang bisa membuatnya. Karena kebanyakan peralatan mereka terbuat dari anyaman dan ikatan. Mereka mengayam berbagai wadah dan tempat untuk membawa barang. Disamping itu mereka juga ahli dalam membuat berbagai macam jenis mainan, yang merupakan replika dari rumah, mobil, istana, kapal terbang dan sebagainya yang mereka buat dari daun kapau. Kesenian yang biasanya mereka nikmati adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan). Dongeng-dongeng yang masih sering diceritakan kepada anak-anak adalah dongeng-dongeng hewan, terutama dongeng si kancil.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Orang Sakai berada di Propinsi Riau. Menurut Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan. keluarga orang Sakai sangat kecil, mereka rata-rata mempunyai dua orang anak. Tingkat kematian balita sangat tinggi, begitu juga tingkat kemandulan. Orang Sakai untuk memenuhi kebutuhannya, mereka bertani, selain itu menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan. Agama orang Sakai bersifat Animistik. Orang Sakai dikenal sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Kebudayaan ini karena benda-benda mereka kebanyakan terbuat dari anyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar